Sunday, February 7, 2016

mengobati rindu (3 - habis)

Keadaan dalam kabin dini hari itu, semua penumpang juga pada tidur, bahkan crew pun juga terlelap di singgasananya. Bapak Driver satu sepertinya bobok di kandang macan. Hanya Mas Driver dua yang focus menyetir, ngerokok, sambil berbincang via headset dengan seseorang di sana yang entah siapa dia, kawannya mungkin.

Bejeu sudah melintasi daerah Wongsorejo, kuambil ranselku di bagasi atas, kubuka pintu sekat kabin dengan ruang kemudi, kemudian duduk di sebelah Mas Driver. Tanpa mematikan ponselnya, Mas Driver berbincang sejenak denganku, lalu melanjutkan kembali pembicaraan teleponnya.

Beberapa saat lagi, aku harus mengakhiri trip ini, Ketapang hanya beberapa kilometer di depan. Masih ingin rasanya bermesra-mesraan dengan Bejeu yang sudah sangat baik memberikan pelayanan dan kenyamanan. Pengen rasanya nerusin perjalanan sampe dengan Denpasar, toh tiketku juga sampai Denpasar. Hehehe.

Kuucapkan terima kasih kepada Mas Driver dan Mas Crew ketika Bejeu sampai di gerbang penyeberangan Ketapang. Sebuah senyum lebar dilempar mas Crew dan Mas Driver sebagai balasan. Saatnya turun. Kutatap kubus raksasa itu berjalan memasuki area parkir pelabuhan. Terparkir bersama dengan rival-rivalnya yang mungkin datang dari Surabaya atau Malang dengan tujuan yang sama, Pulau Bali. Terima kasih Bejeu, terima kasih bus hitam.

Kuseberangi jalanan depan pelabuhan, berjalan menuju masjid besar yang ada persis di depan penyeberangan Ketapang. Waktu masih menunjukkan pukul empat lebih seperempat. Shubuh menyambut, sujud kepada Penguasa semesta sebagai wujud syukur atas segala karunia.

Dari masjid ini nanti, perjalanan akan kulanjutkan menggunakan ojek untuk menuju rumah, menuju harapan, menuju keluarga. Damai.

---

Kembali ke Barat.

Malam ini saatnya aku kembali ke Cirebon. Rute perjalanan adalah Banyuwangi – Malang – Cirebon via Pantura. Banyuwangi – Malang akan dilibas menggunakan travel, sedangkan Malang – Cirebon akan ditempuh dengan bus. Beberapa hari sebelum hari kepulangan, kuurus semua tiketnya. Travel jatuh pada Awangga Travel karena travel langganan yang biasa kuaniki pelayanannya semakin menurun, waktunya beralih dan nyobain armada lain yang sepertinya lebih menjanjikan kenyamanan. Sedangkan untuk urusan bus, tiket benar-benar habis. Pahala Kencana jurusan Bandung maupun Jakarta sudah full semua. KD sepertinya tidak bisa diandalkan, Si Ijo sudah lama dicoret dari daftar, sedangkan armada Cirebonan terlalu siang nyampainya. Aku harus nyampe pagi, langsung masuk kantor soalnya. Akhirnya teringat akan armada kinyis-kinyis SHD milik Gunung Harta, berharap penuh dapat GH120 atau GH121. Itupun dapetnya seat 7D, yang penting terangkut.

Sebenernya bisa saja dari Banyuwangi langsung ke Cirebon pake armada Jakarta atau Bandung. Pilihannya ada Pahala Kencana, Lorena, Kramat Djati, Malino Putra dan Gunung Harta. Gunung Harta adalah pendatang baru untuk rute Banyuwangi. Kenapa harus via Malang? Karena sudah lama aku gak mampir Malang, nengok Ibuk dan Bapak (Kakek dan Nenek dari garis Ummi), juga sodara-sodara di sana, termasuk rumah Kakak.

Jadilah malam itu aku berangkat dengan Awangga Travel, dari luar penampakannya seperti travel pada umumnya, menggunakan armada KIA Pregio dengan sebelas seat. Tapi ada plusnya, ada bantal, selimut, snack, dan satu lagi, neck rest. Belum pernah sekalipun naik travel dari Banyuwangi yang ada neck rest-nya, baru kali ini, Awangga Travel.


Dalam perjalanannya menuju Malang, Awangga istirahat di salah satu rumah makan di daerah Tongas, Probolinggo. Tidak hanya istirahat, tapi juga service makan. Ini juga merupakan kelebihan lain travel ini. Di saat travel lain menghilangkan service makan, Awangga justru masih mempertahankannya. Service makan dilakukan tidak dengan prasmanan, tapi sudah disiapkan sepiring nasi rawon atau nasi soto, bebas pilih yang mana, plus teh manis, bisa dingin, bisa juga pilih yang panas.

Awangga mandaratkanku di Tlogo Indah, Malang, tepat saat adzn shubuh berkumandang. Petualanganku di Malang baru saja dimulai, dan akan berakhir nanti di jam 13:00.

---

Arjosari siang situ tampak begitu ramai, padahal belum arus balik harusnya, karena liburan tahun baru belum berakhir. Tapi entah mengapa, banyak sekali orang yang akan bepergian siang itu via terminal ini. Beberapa bus sudah berada di shelternya masing-masing, namun masih sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan semua armada yang harusnya ada di sini.

Ada Malino Putra Exe yang siap di koridornya, didampingi oleh Safari Dharma Raya dengan pasukan gajahnya, sedang menunggu penumpang setianya. Tampak di kejauhan ada duet Coyo bermesin Hyundai masih santai karena jam keberangkatannya masih sangat jauh. Ada juga Pahala kencana Legalight yang sedang dimandikan di jejeran Patas Denpasar.

Beberapa waktu berselang, masuklah gerombolan Si Ijo, Lorena, mereka berpencar, karena tidak memungkinkan untuk parkir bersamaan. Ada tiga unit kalau gak salah siang itu yang disiapkan untuk mengaspal pantura dengan start dari bumi Arema.


Dan yang ditunggu-tunggu siang itu datang, sang artis. Dialah GH121, Gunung Harta kinyis-kinyis dari Adiputro dengan baju New Setra Jetbus SHD yang begitu menjadi pusat perhatian siang itu. Beberapa mata terpana melihatnya, bus baru dengan penampilan yang tinggi gagah.


Kuhampiri tubuh bongsor warna ijo itu, ini dia bus yang akan mengantarkanku ke Jawa Barat, pikirku. Mantap. Namun, kekecewaan harus aku hadapi saat namaku tidak ada dalaM manifest GH121. Pupus. Hari ini manajemen GH memberangkatkan dua unit armada karena penumpang yang membludak, dan kebetulan aku ditakdirkan untuk menjadi penghuni armada dua.

Kutebak-tebak, armada apakah yang akan menemaniku nanti? Armada apakah yang hari ini disiapkan untuk armada dua? GH120 yang menjadi saudara kembar GH121 jelas tidak mungkin, pasti GH120 hari ini berangkat dari Barat, tidak mungkin dua SHD berangkat bersama dengan tujuan yang sama, startegi menarik konsumen harus diajalankan tentunya. Pupus sudah harapan untuk menjajal armada Adiputro baju SHD ini. Lalu armada apa yang kudapat?

Pertanyaanku terjawab, tak lama, masuklah armada GH kedua. Masih dengan baju garapan Adiputro, New Setra Jetbus2 HD. Lumayan dapat bus yang bajunya baru, pikirku. GH039, begitu yang tertulis sebagai nomor lambungnya. Kalau tidak salah, armada ini pernah juga dijadikan sebagai umpan untuk line Banyuwangi-Jakarta. Armada baru memang sering dijadikan penarik perhatian untuk merebut penumpang competitor, apalagi di line baru.


Hino RN285, begitulah yang tertulis di kaca samping GH039 ini. Makin senang donk, udah dapet armada dengan baju teranyar, dapet pula yang mesinnya gahar. Komplitlah perjalanan ini. Waktu berangkat dapet Bejeu mesin ini, eh pulangnya juga dapet GH dengan mesin yang sama. Mantap. Kulihat manifest yang disiapkan oleh crew, betul, namaku ada di sana.


Masuk ke dalam kabin, sudah banyak penumpang di dalamnya. Ternyata banyak juga penumpang yang naik dari kantor. Langsung menuju ke seat 7D, seat sesuai tiket yang kupesan. Oh iya, penampakan tiket GH dari kantor agen Pattimura ini aneh menurutku, bukan tiket buku seperti biasa, namun hanya berupa lembaran kertas cetak begitu saja.

Dari dalam kabin, aku masih sempat beberapa kali ambil gambar, lumayan daripada gak ngapa-ngapain sambil nunggu bus berangat. Teman dudukku adalah seorang ibu-ibu yang rupanya tadi naik dari kantor. Seat 7D ini posisinya udah sangat belakang, sudah dekat dengan toilet. Ini hampir sama saat aku kebagian naik Kramat Djati beberapa waktu yang lalu, namun saat itu aku berada di pinggir lorong, tidak di pinggir jendela seperti saat ini.


GH121 sudah diberangkatkan, sementara bus-ku masih di Arjosari. Crew sedang sibuk mindah-mindah seat karena ada rombongan keluarga yang kebetulan seat-nya pisah pengen duduk berkumpul. Jadilah beberapa penumpang terpaksa harus dipindah-pindah seat-nya.

Tak lama, GH039 menyusul GH121 yang sudah berangkat lebih dahulu. Snack pun dibagikan. Masing-masing penumpang mendapatkan satu buah snack box untuk satu tiketnya. Isinya adalah roti, sebungkus kacang sebagai camilan dan sebotol kecil air mineral. Kok di gambar ada satu botol lagi berwana oren? Itu minumanku sendiri, tadi kubeli pas di terminal Arjosari, hehehe.


Dari gambar itu juga keliatan bagaimana jarak antar seat, lumayan rapat, tapi asih cukup lega, abaikan kaki ibu-ibu di sebelah, hehe. Beda banget jarak antar seat jika dibandingkan dengan armada yang sama-sama eksekutif, yang kugunakan pada saat berangkat kemarin, begitu juga snacknya. hehehe. Bejeu.

---

Malam perlahan mulai datang, lampu kabin pun dinyalakan, wuiih, keren. Led berwarna bitu sebagai lampu kabin yang diletakkan di dekat lubang ac per masing-masing seat menambah kemewahan body garapan karoseri asal Malang ini. Pemandangan di luar pun juga sudah gelap. Sebentar lagi Tuban, saatnya untuk service makan.


Service makan GH bareng dengan Lorena, di sebuha rumah makan di daerah Tuban, bersebelahan dengan service makan Pahala Kencana. Namun, walaupun satu rumah makan dengan Lorena, ruangan untuk penumpang GH dipisah. Penumpang GH mendapatkan sebuah ruangan khusus, ber-AC. Dari sisi makananpun sepertinya lebih tinggi bila dibandingkan dengan Lorena.


Oh iya, gambar sepiring nasi di at situ sebenernya porsi normal kok, tidak sebanyak yang ada di dalam gambar, efek kamera. Kalaupun memang terbukti banyak, itu berarti khilaf. Hehehe. Saat makan, ada seuatu yang dari tadi mengganjal pikiranku sepanjang perjalanan Malang-Tuban ini. Kenapa suara mesin GH ini tidak segahar suara mesin Bejeu saat itu? Padahal kedua armada ini menggunakan mesin yang sama, mesin besar. Posisi seatku yang ada di belakang memungkinkanku untuk mendengar suara mesin saat gas dinjak dalam-dalam.Tapi suaranya tidak sama dengan suara raungan dapur pacu Bejeu yang saat itu aku tumpangi menuju Banyuwangi.

Satu lagi, responsible armada GH ini juga berkurang, walau duduk di belakang, aku bisa merasakan bagaimana GH ini sepertinya cukup kelelahan di dalam Tol tadi. Pasti ada yang tidak beres, semoga saja tidak ada apa-apa dengan dapur pacu GH ini. Pejalanan masih sangat jauh menuju tujuanku turun nanti, Pintu Tol Palimanan, Cirebon.

Mengapa turun di Pintu Tol? Ya, karena setelah adanya tol Cipali, mayoritas bus malam tujuan Jakarta lebih memilih menggunakan jalan Tol daripada jalan biasa. Disamping lebih cepat dari sisi waktu, jalanan yang bebas hambatan dan motor, lebih memudahkan driver tentunya. Itulah mengapa aku harus turun di Pintu Tol. Berbeda ceritanya kalau aku ikut armada tujuan Bandung, aku bisa turun tepat di jalan depan gang menuju kosan, karena armada Bandung biasa keluar di Pintu Tol Plumbon.

Makan dan segala hal lainnya sudah, saatnya kembali ke bus. Saat menaiki tangga di pintu bus inilah sesuatu yang dari tadi mengganjal itu terjawab. Kutatap handbrake di sebelah kiri seat driver itu dengan tatapan kaget. Ini dia jawabannya. Bus ini tidak menggunakan mesin besar RN285 seperti tertulis besar-besar di kaca samping, tetapi bus ini hanya menggunakan mesin Hino RG. Sama dengan mesin yang disematkan di Pahala Kencan armada Bandung yang biasa kunaiki. Pantas saja,, kini semua ganjalan tadi terjawab sudah.


Handbrake di sebelah kiri seat driver, dekat dengan tangga kabin adalah ciri khas mesin Hino RG. Kulanjutkan lagkahku menuju seatku di bagian belakang. Saatnya istirahat, melanjutkan perjalanan hingga tujuan, besok langsung kerja soalnya. Hehehe.

---

Ada beberapa hal yang menjadikan perjalanan ini begitu istimewa, karena banyak hal baru yang kudapatkan dalam trip kali ini.

Ini adalah pertama kalinya aku naik kereta api Taksaka.
Ini adalah pertama kalinya aku menapakkan kaki di stasiun Tugu, Yogyakarta.
Ini adalah pertama kalinya aku berkeliling sendirian di seputaran Yogyakarta.
Ini adalah pertama kalinya aku mencoba gudeg asli Yogya di daerah Wijilan.
Ini adalah pertama kalinya aku melihat dan menapakkan kaki di terminal Jombor, Yogya.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus tujuan Yogya-Semarang.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus Ramayana, Patas.
Ini adalah pertama kalinya aku sholat di Rumah Sakit Islam Sultan Agung, Semarang.
Ini adalah pertama kalinya aku main ke garasi Bejeu di Ngabul, Jepara.
Ini adalah pertama kalinya aku nyobain bus Muriaan.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus Jerapa-Denpasar.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus Bejeu, Black Bus Community.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus bermesih Hino RN285.
Ini adalah pertama kalinya aku naik bus dengan fasilitas dan snack yang wah.
Ini adalah pertama kalinya aku makan di Depot Anugerah.
Ini adalah pertama kalinya aku naik travel Awangga.
Ini adalah pertama kalinya aku naik armada berbaju New Setra JetbusHD2.

mengobati rindu (2)

Aku sudah berada di dalam kabin teravel Bejeu bermesin Isuzu Elf ini. Drivernya adalah seorang lelaki muda, masih sangat muda malah kalo dilihat dari penampilannya. Travel itu lumayan penuh siang itu, di sebelahku ada dua cewek yang sepertinya anak kuliahan menempati seat 3 dan 4, sedangkan di belakangku di seat 6, 7 dan 8 juga penuh dengan penumpang lain, menyisakan seat paling depan sebelah driver yang masih kosong. Aku sendiri menempati seat 5, seat sebelah kiri, dekat dengan kaca.

Cuaca masih saja hujan, semakin deras malah, tapi itu tidak menjadi alasan bagi Mas Driver untuk tidak memacu kendarannya dengan kecepatan tinggi, pedal gas diinjak dalam-dalam, menerobos lalu-lalang kendaraan di jalanan Semarang. Kunikmati semuanya, sekaligus menikmati snack yang sudah dibagikan per seat.


Sesuai dengan pembicaraanku di telepon sebelumnya, saat aku di RSI Sultan Agung, aku telepon pihak Bus Bejeu, oleh mereka aku disarankan untuk turun saja di garasi Bejeu di daerah Ngabul, tidak perlu ke Terminal Jepara. Oke, pesan itu juga udah aku sampein ke Mas Driver.

Perjalanan Semarang-Jepara plus hujan deras siang itu menempuh waktu dua jam lebih beberapa menit. Cukup cepat. Aku telah sampai di garasi Bejeu. Turun dari travel, langsung kutanyakan tiket travelnya karena Mas Driver tidak juga memberikanku tiket saat aku masih di dalam kabin tadi. Tapi Mas Driver mengatakan bahwa tidak ada tiketnya. Loh, kok aneh? Tumben travel Bejeu gak ngasih tiket untuk penumpangnya? “Yaudahlah Mas, gak ada tiket gak papa, berapa ini tarifnya?” Tanyaku. Tapi jawaban dari Mas Driver justru membuatku makin terkejut. “Mas ini penumpang yang mau nyambung pake Bus ke Denpasar kan? Nah, kalo nyambung Bus Bejeu, travelnya gratis, makanya gak ada tiketnya.” Owalaaah,, begitu ternyata, yowis Mas, rejeki ini, bisa ngurangin budget. Hehehe.

Ini toh suasana garasi Bejeu, banyak terlihat bus-bus terparkir, baik yang “sehat” maupun yang “sakit”. Untuk yang “sakit” tampak beberapa montir yang sedang “mengobati”. Di sisi yang lain, ada sebuah bangunan yang difungsikan sebagai kantor, ke sanalah tujuanku.


Di kantor itu, ada mas-mas bagian tiketing, segera saja aku ke sana. Kukatakan bahwa aku adalah penumpang tujuan Denpasar yang sudah booking online, mau ambil tiket. Mas tiket melakukan pengecekan dan validasi dengan komputernya, kemudian mengambil selembar tiket. “Ada kelebihan harga, Mas.” Katanya. Pada saat booking online, herga di system adalah Rp 303.00,- dan sudah aku transfer. Ternyata, harga pada saat hari-H adalah Rp 270.000,- dan kelebihan harga sebesar Rp 33.000,- akan dikembalikan. Ya ampuun,, kejutan lagi untuk trip kali ini.


Masnya akhirnya menyerahkan tiket berikut dengan kelebihan harga yang telah aku bayarkan sebelumnya. Mas itu juga mengatakan bahwa bus ke Denpasar belum masuk garasi, mungkin sebentar lagi, katanya sambil menunjukkan lokasi bus saat ini di komputernya. Bus Bejeu memang terintegrasi dengan GPS, jadi posisi bus bisa diketahui oleh siapapun asal memasukan kode tertentu. Menu ini ada dalam aplikasi e-Bejeu yang bisa didownload dari Play Store.

Aku sempatkan untuk Dzuhur sekaligus Ashar di kantor Bejeu, sambil menunggu kedatangan Bus. Melihat-lihat keadaan garasi dan segala macam hal yang ada di sana. Sepertinya enak kerja di sini, bisa liat bus tiap waktu, hehehe.

---

Aku berjalan dipayungin sama Crew saat akan memasuki armada Bejeu yang akan membawaku menuju Bumi Blambangan, Banyuwangi. Cuaca memang masih hujan saat itu. Crew juga membawa satu paket kopi sachet, gula dan teh untuk keperluan mini pantry di dalam bus.

Dan subhanalloh Gusti,, busnya cantik banget. Interiornya wow pokoknya. Belum pernah aku naik bus sekeren ini. Kok ya baru sekarang aku ada waktu buat nyobain. Langsung dapet hotseat lagi. Mantap.


Yampuun, ini sih baru namanya bus eksekutif. Seatnya mantap dan jarak antar seatnya juga lega banget. Snacknya banyak banget, ada air mineral botolan, ada floridina, pop mie, trus yang didalam kemasan itu isinya ada roti, kacang, sama kripik pangsit gitu lah, dan permen. Itu juga belom teh dan kopi yang bisa dinikmati sepanjang perjalanan, tinggal bikin aja di mini pantry. Colokan listrik, ada dua unit di setiap seatnya, gakan kuatir buat kehabisan batere gadget. Parahnya lagi, itu bukan selimut yang digantungin di masing-masing seat, tapi bad cover yang wanginya itu loh,, haduh,, udah bobomania ini pokoknya mah.

Soal kecepatan, gak perlu diragukan kiranya, bus-bus muria terkenal dengan kecepatannya yang mumpuni. Kaca depan sebelah kanan ada bekas lemparan batu cukup menjadi bukti kalo bus ini sering di jalur kanan. Itu terbukti, sejak keluar dari garasi, Hino RN285 ini sudah dimaksimalkan tenaganya oleh driver satu yang perawakannya masih paruh baya, sambil mengobrol dengan crew dan driver dua, yang aku yakin driver dua akan lebih ngotot, dilihat dari penampilannya, driver dua jauh lebih muda, pasti ngejalanin bisnya juga lebih berjiwa muda nantinya.

Mungkin inilah tipikal bus Jepara-Denpasar, banyak banget paket yang harus diambil, sering berhenti untuk menaikkan paket yang memang semuanya tujuan Pulau Bali. Santai, ini juga masih di dalam kota Jepara, masih wajar untuk start awal. Ada saatnya nanti bus ini menunjukkan taringnya.

Masuk sebentar ke sub terminal mana gitu aku lupa, masih di Jepara tapi. Di sini ada teman seperjalanan nantinya. Muji Jaya Citra Mandiri Trans berbody Scorpion Kings juga lagi mampir di sini. Namun, Bejeu berangkat lebih awal meninggalkan bus dominan orange itu.


Bejeu mulai dipacu, mesin besar Hino ini menggeram, menggerakkan body bongsor ini meninggalkan Jepara. Hujan masih saja terus mengguyur. Jalanan sedikit macet karena hujan yang terus mengguyur memaksa setiap kendaraan tidak melaju cepat seperti biasanya. Wait, itu ada putih-putih di depan.


Makin deket makin jelas penampakan si putih. Haha, dan benar saja, itu rekan seperjalanan juga, bus yang tadinya akan aku naiki namun batal karena jamnya terlalu mepet, Surya Bali. Kita melaju bersama, mengarungi pantura sampai Denpasar. Akhirnya Surya Bali pun di-take over saat si putih itu sedang berhenti di sebuah agen.

Jalanan Kudus menyambut. Kemacetan parah terjadi, ternyata banjir. banyak rumah di sepanjangn jalanan Kudus yang mulai tergenang. Dari dalam kaca si Hitam ini kulihat kesibukan warga, polisi dan juga tim sar. Televisi di dalam kabin saat itu memutar tembang-tembang lawas, sumpah ini bikin gampang tdur.


Dan akupun benar-benar menikmati perjalanan ini, lagi-lagi tidur ayam seperti di kereta api semalam. Tapi masih dapat kusaksikan keganasan RN285 ini melibas pantura.

Hari sudah beranjak malam saat itu. Bejeu melintasi jalanan Rembang. Di sebuah pertigaan, Bejeu ambil kanan, melepaskan dirinya dari Pantura, ada macet panjang kata crew. Jalanan ini sepertinya pernah aku lalui, waktu dengan Pahala Kencana. tapi aku belum terlalu yakin. Kubuka map di handphone, track-nya masih sangat panjang untuk sampai di jalan utama. Ya, sepertinya ini benar jalan itu, jalan dulu waktu sama Pahala Kencana, jalan tembus ke arah Bojonegoro.

Aku lapar. Pengan banget makan nasi ini mah. Terakhir makan nasi tadi pagi pas sarapan gudeg di Yogya. Ini Bejeu mau service makan di mana sih? Masa di Tuban? Udah malem banget ini.

Dan ternyata benar, jalanan ini tembus ke lintas Bojonegoro arah Tuban. Bejeu dipinggirkan di sebuah depot atau rumah makan. Depot Anugerah namanya. Bejeu service makan di sini. Entah ini memang sengaja makan di sini karena motong jalan tadi, atau memang ini rumah makan asli buat service-nya, aku gak tau, wong baru pertama kali ikut Bejeu, hehe, soalnya pihak rumah makan gak nyobek kupon makan di tiket,


Di sini service makan gak prasmanan, semuanya diambilin sama pihak rumah makan. Menu malam itu hanya ada dua pilihan. Nasi rawon, atau nasi pecel. Penumpang bebas menambah lauk apapun dengan harga yang dibayar sendiri sesuai item yang ditambahkan. Minumnya bebas pilih, mau es teh manis, atau teh manis panas.

Setelah beres makan, banyak penumpang yang mayoritas bapak-bapak naik ke bus, bukan untuk kembali duduk di seatnya, tapi untuk bikin kopi, hehehe, lumayan, gratis.

Aku sekalian Magrib-Isya di rumah makan ini, enak, mushollanya cukup nyaman, kamar mandinya juga banyak dan bersih. Beres semua, saatnya foto-foto, tapi sumpah udah ngantuk banget, hehe.


Bejeu kembali melaju, kali ini dengan driver dua, mas-mas yang masih muda tadi, dengan perawakannya yang pendek, Bejeu dijalankan seperti kesetanan, khas bus muria. Cepat tapi tetap mempertimbangkan aspek keamanan. Cepat, aman, nyaman. Kencengnya mulus, ngeremnya juga smooth. Enak pokoknya bawaannya.

Kendaraan-kendaraan besar dan bus bumel menjadi santapan yang sangat gampang. Ada satu armada pariwisata yang lumayan susah ditaklukkan, sama-sama ngotot. Kusuma Indah, tapi akhirnya, karena lajunya terhalang truk di depannya, Kusuma Indah mampu di-ove take dari sebelah kiri oleh Bejeu.


---

Aku terbangun, mengamati daerah sekitar, PLTU Paiton. Lampu-lampunya menghias malam, berkilauan seperti sebuah kota kecil. Cukup lama berarti aku tidur, benar-benar tidur, pulas, akumulasi dari rasa capek mungkin. Masih kuingat, daerah terakhir yang aku lihat adalah Gerbang Tol Kebomas, dan kini aku terbangun saat Bejeu sudah melintasi PLTU Paiton.

Kurebahkan kembali badanku di sandaran seat yang begitu nyaman. Bed cover masih menyelimuti badan, hangat. Kuperhatikan cara Mas Driver mengendalikan Hino mesin besar ini, fantastis. Cepat tapi begitu nyaman. Bayangin aja, tidurku sama sekali tidak terusik dari Gresik sampai dengan Paiton, benar-benar tidak tahu apa-apa sepanjang jalanan tadi, bobomania. Belum pernah loh dalam sejarah perbisan, aku bisa tidur selama dan senyenyak itu.