Tuesday, November 5, 2013

takhta mahameru

“Sebuah perselisihan akan menjadi jalan paling singkat di antara dua pikiran.”

“Senyum itu bukan untuk membalas apa-apa, senyum itu untuk memulai semuanya.”

“Kurangi kesinisan pada orang lain karena kamu hidup pasti membutuhkan orang lain.”

“Aku sudah member telinga, harusnya aku mendapat suara.”

“Suara kehidupan di dalam diriku tak dapat menyentuh telinga kehidupa dalam dirimu, tetapi marilah kita berbicara agar kita tidak akan merasa kesepian.”

“Arti penting manusia adalah bukan pada apa yang dia raih, melainkan lebih pada apa yang dia ingin raih.”

“Hanya orang dengan rahasia-rahasia dalam hati mereka yang mampu meramalkan rahasia-rahasia di dalam hati kita.”

“Betapa tidak pedulinya dirimu ketika kamu menginginkan orang-orang terbang dengan sayapmu dan kamu bahkan tak mempu member mereka bulu.”

“Dahsyatnya sebuah impian bisa membuat orang menempuh perjuangan seberat apapun untuk mendapatkan impiannya.”

“Mencintai air harus menjadi ricik, sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu. Hujan di matamu.”

“Yang paling dekat dengan hatiku adalah seorang raja yang tidak memiliki singgasana dan seorang miskin yang tidak tahu caranya mengemis.”

“Persahabatan itu adalah pertanggungjawaban yang manis, bukan sebuah peluang.”

“Seperti dua kapal yang berpapasan sewaktu badai, kita telah bersilang jalan satu sama lain, tapi kita tidak membuat sinyal, kita tidak mengungkapkan sepatah kata pun, kita tidak punya apa pun untuk dikatakan.”

“Kebaikan yang sesungguhnya adalah dia yang berbuat baik kepada orang yang dianggap jahat.”

“Di gunung, kamu akan melihat semua orang dalam wujud aslinya. Karakter orang akan tampak jelas, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung.”

“Lakukan segala cara, selama itu mungkin dan masuk akal.”

Dari sebuah novel, "Altitude 3676, Takhta Mahameru - Azzura Dayana"

Tuesday, June 18, 2013

sebuah rasa

Pernahkah kalian merasakan sebuah rasa rindu? Rasa rindu yang sangat mendalam dan begitu memuncak? Rasa yang selama ini hanya tersimpan rapi di dalam dada, tertutup rapat di tempat persembunyiannya, tersamarkan oleh raut muka dan rekah senyuman, yang walaupun pada akhirnya juga akan meluap tumpah ruah. Ini bukan tentang siapa-siapa, bukan tentang pasangan terhadap kekasihnya, tidak juga tentang teman dan karibnya, atau apapun itu, lebih dari itu semua, ini adalah tentang kerinduan seorang anak terhadap orang tuanya, tentang Ibu-Bapaknya.

Hidup di tanah rantau tidak akan serta merta membuatmu tegap sehebat baja, kuat setegar karang, ataupun tangguh laksana gunung yang berderet angkuh. Bukan, bukan seperti itu teorinya. Masih ada bagian dari hidupmu yang tersisa untuk tetap menjadi rapuh. Sengaja atau tidak. Tersadar atau tidak. Bagian itulah yang mempunyai andil besar untuk menumbuhkan rasa rindu pada orang tua, entah yang masih ada maupun yang telah lebih dahulu tiada.

Sejauh-jauhnya burung terbang, tetap ia akan pulang menuju sarangnya. Sejauh-jauhnya seseorang merantau, tetap orang tua yang akan menjadi tujuan akhirnya.

Entahlah, akunya yang terlalu lemah atau bagaimana, sekian tahun di tanah rantau ternyata lebih dari cukup untuk mulai menumbuhkan jenuh, yang sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti selalu bergemuruh, di sini, di hati. Jenuh dengan kesendirian yang akhirnya menerbitkan kerinduan akan sosok penuh kasih dan penuh perhatian, pada mereka manusia-manusia yang tak kan tergantikan, orang tua.

Merekalah yang membuat kita ada, merekalah yang menjadikan kita dewasa, mendidik dengan penuh cinta, bersih dari pamrih demi kesuksesan anak-anaknya, seperti apa kita hari ini tak kan lepas dari peran orang tua, percayalah.

Tapi, mana baktiku pada mereka? Mana hormat abdiku pada mereka? Mana tunduk santunku terhadap keduanya? Apa yang sudah kulakukan untuk keduanya?

Tuhan, jika aku boleh meminta, dengan penuh harap hamba mohon izin untuk bisa menemani hari-hari senja orang tua, menunjukkan bakti untuk sedikit membalas setumpuk jasa keduanya. Tidak lagi terhalang bentangan jarak yang ribuan kilo menghadang menghalang. 

Tuhan jika aku boleh sekali lagi meminta, akan kupinta kebahagiaan untuk keduanya, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan surga.

Friday, January 11, 2013

hujan yang mendamaikan

“Aku suka hujan, suara rintiknya yang terdengar di genting kamarku terdengar merdu.”

“Aku seneng kalau turun hujan, soalnya memory-ku langsung bisa flashback tentang sebuah kenangan.”

“Gerimis itu romantis.”

“Aroma tanah basah karena hujan itu, harumnya penuh dengan damai.”

“Aku suka mengintip hujan dari jendela kamarku, suasananya benar-benar menyejukkan.”

“Hujan itu adalah saat bermalas-malasan di dalam hangatnya dekapan selimut.”

Mungkin seperti itulah di antara kalimat yang bisa mendeskripsikan tentang hujan. Mana yang merupakan ungkapan kalian? Atau kalian punya ungkapan indah lainnya tentang hujan? Ungkapan dan gambaran yang lebih indah, mungkin. Atau bahkan kalian sama sepertiku, yang kini “membenci” hujan?

Musim hujan yang mulai datang di akhir tahun kemarin, yang masih berlangsung hingga kini, dan entah sampai kapan akan tergantikan oleh musim kemarau lagi, mungkin bagi kalian adalah sebuah hal indah, romantis, dramatis dan mendamaikan. Tapi tidak dengan aku. Rintik hujan yang mungkin bagimu adalah bagaikan alunan suara yang merdu, bagiku adalah sebuah kepedihan layaknya sayatan sembilu. Gerimis yang menurutmu romantis, bagiku adalah derai tangis. Suasana saat hujan yang kau bilang menyejukkan, bagiku adalah sebuah ketakutan. Hujan yang bagimu berarti hangat dalam dekapan selimut penuh rasa malas, bagiku adalah pontang-panting penuh kerja keras. Hujan bagiku, tidaklah seindah hujan di depan indra kalian.

Mungkin itu semua tampak berlebihan, ya, bahasa sastra akan membuat segala sesuatu tak sesederhana aslinya. Tapi paling tidak, begitulah lukisan rasa yang digambarkan oleh hujan, menurutku.

Mata pencaharianku saat ini, terhitung dari pertengahan 2010, adalah sebuah pekerjaan yang memaksaku untuk mengibarkan bendera perang terhadap hujan dan pasukannya. Hujan adalah musuh. Pekerjaanku menuntutku untuk “membenci” hujan berikut antek-anteknya. Itulah sebuah resiko. Itulah tuntutan. Bagaimanapun, semuanya masih harus kuhadapi dengan penuh senyuman. Juga doa.

Suatu saat nanti, aku juga ingin seperti dulu, seperti kalian. Seperti mereka yang bisa memandang hujan dari sudut pandang yang indah. Sudut pandang yang mendamaikan. Menikmati harum aroma tanah basah yang menyegarkan.

24 tahun...


2013 itu beberapa temanku sudah menjadi sarjana.
2013 itu sejumlah kawanku memulai untuk mengambil pasca sarjana.
2013 itu beberapa karibku sudah berlayar overseas.
2013 itu aku sudah berusia dua puluh empat tahun.
2013 itu aku … … …

24 tahun itu mendekati seperempat abad.
24 tahun itu usia Nabi Muhammad, ketika berkarir dengan bisnis niaganya.
24 tahun itu usia Nabi Muhammad, sudah keluar negeri dengan kesuksesan karirnya.
24 tahun itu aku … … …

Di awal Januari 2013 ini, usiaku tepat di angka 24. Lembaran hidup yang kedua puluh empat. Yang berarti jatah hidupku di dunia ini tinggallah n-24.

Masih seakan tidak percaya saat beberapa teman mengucapkan ucapan selamat, aku tidak percaya bahwa usiaku kini sudah mencapai 24 tahun. Usia yang mendekati angka seperempat abad. Sepertinya waktu berjalan sangat cepat tanpa disadari. Entah waktu yang berjalan sangat cepat, atau diri ini yang berpikir sangat lambat.

Peduli atau tidak, aku harus mulai bangun, terjaga dari mimpi dan lamunan. Sampai kapan aku harus membiarkan hari-hari berlalu begitu saja tanpa hal-hal berarti? Tanpa pencapaian yang tinggi? Sedangkan usiaku kini sudah 24. Dua puluh empat. Sudah bukan saatnya lagi bermimpi, berangan-angan. Dua puluh empat adalah angka untuk mulai merealisasikan apa yang selama ini dimimpikan, diangankan. Bangunlah dari mimpimu, dan mulailah untuk mewujudkannya.

Apa yang sebenarnya kamu impikan?

Aku yakin mimpiku tidaklah sebesar impian kalian. Tidak setinggi yang kalian dengung-dengungkan. Mimpiku hanyalah sebuah mimpi kecil yang sederhana. Mimpi untuk hidup bahagia. Aku ingin hidup bahagia, tidak hanya aku, tapi aku dan orang-orang di sekitarku, keluargaku. Ya, suatu saat nanti, aku ingin melihat keluargaku bahagia dengan kebahagiaanku.

Beribu harapan mengiringi langkah awalku di dua puluh empat ini. Paling tidak, angka dua puluh empat adalah awal titik balik dari kehidupan seorang Reza.

New year, new age, new life, new hope.


Dua puluh empat tahun, ya robbanaa
Hamba di dunia, ya robbanaa
Hamba banyak dosa, ya robbanaa
Hamba mohon ampun.
(ebiet beat a – 24 tahun)

Tuesday, January 1, 2013

aku dan bus

Kalau ditanya mengapa aku menyukai kendaraan ini? Aku bingung harus menjawab apa. Begitu juga saat ada yang bertanya, dari sejak kapan aku menyukai bus? Entahlah sejak kapan. Bahkan kalau boleh jujur, saat aku belum TK, ketika aku ditanya tentang cita-cita, coba tebak apa yang aku jawab? Di saat anak-anak yang lain menjawab ingin menjadi presiden, pilot, guru, dokter, atau apapun itu, aku justru menjawab ingin menjadi seorang supir bus.

Teringat juga bagaimana upaya keras kedua orang tuaku saat membujukku untuk pindah sekolah. Saat itu aku sudah bersekolah di sebuah SD Negeri. Kelas satu, beranjak naik ke kelas dua. Kedua orang tuaku merayuku untuk pindah ke sekolah swasta dengan sistem full day school yang jauh lebih bonafit, tetapi harus mengulang kembali ke kelas satu. Tentu yang ada dalam fikiranku saat itu hanyalah penolakan. Bagaimana mungkin aku yang seharusnya sudah akan naik ke kelas dua, harus mengulang kembali ke kelas satu. Apa kata teman-temanku nanti? Dan lagi, aku harus kembali mencari teman baru di sekolah yang baru itu. Ummi dan Abi terus saja merayuku dengan bermacam-macam hal dan fasilitas wah yang ditawarkan sekolah baru tersebut. Merayu dan merayu. Tetapi aku tetap pada pendirianku. Hingga akhirnya sebuah jurus sakti pun mereka keluarkan, mereka bilang “Nanti ke sekolahnya di antar jemput pakai bus loh, bus sekolah”. Dan seketika, saat itu juga aku mengangguk setuju. Aku, Ummi dan Abi pun kompak tersenyum.

Begitulah, aku telah jatuh hati pada kendaraan berbentuk balok besar itu sejak dulu. Sejak masih kecil. Entah apa yang saat itu benar-benar membuatku menyukai bus. Yang jelas, aku suka. Titik. Kalian mungkin akan heran dengan ini semua, tapi itulah yang terjadi pada diriku. Benar-benar nyata. Ada.

Aku suka bus. Aku suka dengan bentuk besarnya yang gagah, dengan livery-nya yang bermacam-macam dan tampak begitu elegan. Aku jatuh cinta dengan interior dan eksteriornya. Aku kagum dengan kelihaian pengemudinya, dengan caranya membelah jalanan saat mendahului kendaraan di depannya. Dan apapun itu, aku suka.

Travelling dengan mode transportasi yang satu ini, benar-benar menarik bagiku. Aku bisa melihat keramaian di sepanjang perjalanan, bisa menjadi saksi bagaimana balok besar itu menjadi raja di jalanan, men-takeover lawan-lawannya yang berjalan lambat di depannya. Tidak seperti saat menggunakan kereta api yang hanya bisa menikmati pemandangan sawah, ladang, sawah lagi, lagi, dan lagi.

Lantas, kalau ditanya, sudah berapa bus yang pernah aku naiki? Hmm,, sudah sangat banyak. Akan aku coba ingat satu persatu di sini.

AKAS (bwi-jbr pp), TENTREM (jbr-mlg pp), LADJU (jbr-mlg pp), HARAPAN JAYA (bwi-jbr pp), TJIPTO (bwi-jbr pp), MINTO (bwi-jbr), INDONESIA ABADI (bwi-jbr), YUANGGA (bwi-jbr), SABAR INDAH (pbg-jbr), BOROBUDUR (jbr-bwi), GUNUNG HARTA (mlg-dps pp), ALMUBAROK (bwi-mlg pp), LORENA (bwi-crb pp), PAHALA KENCANA (crb-bwi), KRAMAT DJATI (mlg-bdg), DAMRI (crb-bdg pp), SAHABAT (crb-bdg pp), BHINEKA (crb-bdg pp), KENTJONO (bwi-jbr pp), RESTU AGUNG (jbr-pbg), HAZ (sby-mlg), HAFANA (sby-mlg pp), RESTU (sby-mdn), DAHLIA INDAH (jbr-bwi), COYO (crb-mlg), ZENA (mlg-sby pp), MILA SEJAHTERA (jbr-pbg).

Semoga tidak ada yang terlewat. Lumayan banyak. Bagaimana dengan kereta api? Hanya sedikit yang pernah kunaiki.

RENGGANIS/TAWANGALUN (bwi-mlg pp), MALANG EXPRESS (sby-mlg), PANDANWANGI (bwi-jbr pp), ARGOJATI (crb-jkt), CIREBON EXPRESS (crb-jkt), GAJAYANA (crb-mlg pp), SRITANJUNG (bwi-jgj pp).

Nah, itulah hubungan dekat antara aku dengan bus. Yang jelas, apapun mode transportasi yang digunakan, selalulah berhati-hati dan berlaku sopan. Sopan pada diri sendiri, pada kru, dan pada orang-orang di sekitar.