Friday, February 18, 2011

sebuah revolusi

Kisah ini merupakan sebuah kisah hidup sederhana, sebuah kejadian sejati yang pernah aku alami sendiri. Kisah ini pernah aku goreskan di blog-ku yang lalu, dan coba kutuangkan kembali di sini, untuk bisa kita baca bersama.

----

27 Juli 2009,,

Sahabat,, sebenarnya ini bukan lagi sebuah berita baru,, harusnya berita ini aku posting di hari H saat semuanya baru saja terjadi,, yah tanggal 19 Juli 2009 lalu,,

Siang ini, saat matahari begitu terik membakar kota Cirebon, di jam kantor yang sedikit longgar, kusempatkan diri ini tuk menceritakan sebuah kabar gembira, kabar gembira yang patut dicontoh dan bukan malah dicemooh, kabar gembira yang bisa menjadi sebuah motivasi untuk mereka yang sedang mencoba tuk berevolusi.

Yah, akhirnya dia memutuskan tuk menutup auratnya, berjilbab,,

Sebuah kejutan tak ternilai saat dia mencoba bertanya dengan penuh kehati-hatian. “Mas, boleh gak kalo misalnya aku pake jilbab?” Entah nikmat apa yang aku rasakan saat itu,, hati terasa damai,, fikiran terasa tenang,, dan diri ini begitu senang seakan ada aliran kebahagiaan dalam satuan yang tak terhingga.

Semuanya lebih cepat dari yang aku harapkan, semuanya datang lebih awal dari yang aku targetkan,, subhanalloh,, ternyata hidayah ada di mana-mana dan hadir kapan saja,,

Masih begitu jelas dalam ingatan saat senyumnya menghiasi bibir kala ditanya, “Mb Lynda udah pake jilbab, hany kapan?” senyum, hanya itu yang menjadi jawaban tiap pertanyaan itu terlontar. Yah aku belum pernah memaksanya untuk menutup aurat, menyuruh dia menggunakan jilbab pun aku belum pernah,, kecuali dengan lontaran nada-nada halus,,

Masih teringat juga, bagaimana saat kami berjalan di mall, dengan kepolosan dan kemanusiawian jiwa seorang wanita, dia selalu bertanya tiap kali melihat baju dan gaun-gaun seksi, “ Mas, baju itu bagus yah? Aku boleh gak beli kayak gitu?” dan jawabanku pun bukan sebuah jawaban yang bernada melarang, akan tetapi, “Boleh-boleh saja, asal jangan dipakai waktu jalan sama mas, yah?”.

Waktu pun berjalan, sekarang giliranku yang mencoba untuk mengarahkan, dan bukan memerintah, saat berjalan-jalan di mall, saat langkah kaki ini melewati gerai busana muslim, terlontar sebuah kalimat, “Hany, baju itu bagus yah?mau gak kalo dibeliin?” dan sekali lagi, selalu hanya sebuah senyuman yang terukir indah di bibir manisnya,,

Hal tersebut kulalukan bukan satu atau dua kali, namun berkali-kali dengan penuh kesabaran, harapannya bukan agar dia minta beli dan menyukai, tapi harapan agar di brain nya tertanam image bahwa baju seperti itulah yang sebenarnya bagus dan sesuai syariat, aku hanya bisa menanti dengan sabar sambil terus berdoa,,

Perjalanan matahari dari ufuk timur menuju ufuk barat tak pernah berhenti tiap waktunya,, sampai akhirnya dia sendiri yang memulai, “Mas, baju yang itu tuh bagus yah? Yang jilbabnya ada payet-payetnya tuch”. Kalimat itu telontar dari bibirnya saat kami berjalan melewati beberapa toko baju muslim, dan,, ya Alloh,, inikah kuasaMu? Inikah anugerah dari kesabaran dan doa selama ini? Subhanalloh wal hamdu lillaah,,

Hati ini begitu gembira, dia sudah memulai hari-harinya dengan berusaha di jalanNya, sebuah revolusi tanpa paksaan, melainkan dengan penuh kesadaran,, bukan hanya sekedar menutup kepala dengan kain kerudung, akan tetapi juga menutup dada sesuai dengan perintah dan kalamNya,, sekali lagi bibir ini ingin memuji keagunganMu ya Alloh,,

Ya Alloh,, bimbinglah dia untuk selalu istiqomah di jalanMu, pertahankan langkahnya untuk selalu mengikuti syariatMu, dan hamba mohon izinkan kami tuk belajar memenuhi perintah-perintahmu,, bersama-sama,,,

Friday, February 11, 2011

memulai menulis

"cobalah untuk mulai menulis,, tuh liat Andrea Hirata,, “

Rangkaian kata itu pernah diucapkan oleh Abi kepadaku,, di suatu malam dalam sebuah pembicaraan lintas provinsi melalui pesawat telepon. Sebuah kalimat yang tak begitu kutanggapi pada awalnya, bukan hobiku, kilah diriku saat itu. Ya, hobiku memang membaca, bukan menulis. Membaca hasil tulisan orang lain, menikmati coretan karya orang lain, dan aku begitu menyukainya.

Tak salah memang jika aku bilang diriku menyenangi membaca. Tumpukan buku terlihat hampir di semua tempat yang pernah kusinggahi. Di kamar tidurku di Banyuwangi, di kamar kost ku di malang, kamar kost di Surabaya, kamar kost di Cirebon, bahkan sampai di meja kerjaku disini, ada mekhluk berbentuk kotak persegi dengan lembaran halaman di dalamnya itu. Segala jenis buku bisa jadi santapan favoritku. Novel remaja, novel terjemahan, bacaan keagamaan, atau apapun itu, aku suka. Kecuali komik, sampai saat ini aku belum bisa melatih diriku untuk menyukai lembaran bergambar itu.

Sampai pada akhirnya kubeli sebuah buku dengan judul yang begitu menarik perhatian, akan tetapi begitu memulai mebaca, ah, ternyata muatan tidak semenarik truknya. Isi tidak semenarik judul. Buku itu hanya berisikan tentang diary kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia di negeri seberang sana.  Masing-masing dari mereka menuliskan kisah hidup mereka dan akhirnya dibendel dan dibukukan.

Tapi dari situlah aku menyadari sebuah kekalahan. Aku seorang Reza, kalah dengan para pahlawan devisa itu. Melihat kesibukan mereka yang begitu padat, mereka masih bisa meluangkan waktu untuk menulis, sedangkan aku? Apakah aku masih bisa membanggakan diri dengan hanya membaca? Betapa konsumtifnya diri ini, hanya bisa menikmati hasil karya orang lain.

Yah, baru kusadari kalau ternyata diri ini adalah seorang konsumtif. Sifat yang paling buruk karena hanya bisa menikmati tanpa bisa memproduksi. Sebuah negara yang begitu besar saja bisa hancur lebur dengan perilaku konsumtif menahun, apalagi diri ini yang begitu kecil?

Maka mulai saat ini, kudeklarasikan bahwa aku mulai untuk menulis. Menulis apa saja yang bisa menjadi sebuah tulisan karena memang tidak ada rambu ataupun lampu merah dalam hal menulis.

Dengan menulis, aku berusaha untuk tidak lagi hanya menjadi penikmat, berusaha tidak lagi menjadi pribadi konsumtif, dan sepertinya menulis bisa meringankan beban yang sedang kita rasakan. Saat tidak ada kehadiran teman atau orang lain yang bisa menjadi pendengar yang baik untuk diri kita, menulis bisa dijadikan alternatif untuk meluapkan sesutau yang mengganjal dalam diri ini.

Belum terfikir memang, dengan menulis aku akan bisa menjadi seperti Pipiet Senja, Asma Nadia, Ayu Utami, Dan Brown, atau layaknya Andrea Hirata seperti yang Abi pernah bilang, tapi setidaknya aku sudah memulai untuk menulis, walaupun itu masih dalam tahap pembiasaan dan pembelajaran. Tapi aku sudah bertekad untuk selalu menulis. Air dalam sebuah wadah bisa menjadi keruh kalau tidak dituangkan, begitu juga dengan otak, ketika sesuatu yang ada di dalam otak tidak kita tuangkan, otak akan menjadi keruh dan semakin keruh.

Dan akhirnya, aku bisa bersuara, Abi, lihatlah, ini aku, Reza, sudah memulai untuk menulis.