Wednesday, June 17, 2015

bertemu Ramadhan

Terima kasih ya Alloh, terima kasih banyak, atas cinta dan kasihMu aku masih Engkau pertemukan kembali dengan Bulan Ramadhan tahun ini. Terima kasih juga untuk rasa bahagia yang masih Engkau bersitkan di dalam dadaku kala Ramadhan ini datang. Semoga aku bisa bersyukur padaMu untuk ini semua.

Ramadhan tahun ini kembali menjadi Ramadhan yang kesekian kalinya aku tidak bisa berkumpul dengan keluarga, menjalankan puasa di tanah rantau tanpa kebersamaan dengan keluarga seperti sebelum-sebelumnya. Tapi abaikanlah hal ini, rasa-rasanya aku sudah biasa, atau mulai terbiasa lebih tepatnya.

Aku ucapkan selamat menjalankan puasa Ramadhan berikut dengan paket ibadah lainnya buat semua kawan yang menjalankannya. Selamat berpuasa dengan bahagia, selamat berpuasa dengan ikhlas, selamat berproses menjadi insan yang bertakwa.

Ayo, mari kita berpuasa tanpa merasa harus dihormati sebagai orang yang sedang berpuasa. Mari kita berpuasa tanpa harus memandang sebelah mata terhadap mereka yang tidak berpuasa. Mari berpuasa tanpa harus mencemooh mereka yang masih tetap membuka usaha warung makan dagangannya.

Masa hanya karena kita berpuasa, lantas kita berhak untuk meminta penghormatan dari orang lain? Ya, hanya karena kita sedang menjalankan puasa. Kalau sudah begitu, begitu rendahnya harkat kita sebagai seorang hamba tentunya. Untuk taraf sedang menjalankan ibadah ketuhanan saja masih butuh penghormatan dari orang lain, itu bisa diartikan kita mengharapkan sesuatu selain keridloan Alloh kan? Bukannya untuk urusan ibadah, malah kalau bisa jangan sampai orang lain tahu kita sedang melakukannya? Seperti saat kita sedang bersedekah, jangankan orang lain, bahkan tangan kiri kita pun kalau bisa jangan sampai tahu kan?

Begitu juga dengan memandang sebelah mata mereka yang tidak berpuasa, hanya karena kita sedang berpuasa. Hei kawan, bangunlah, ini hanya masalah waktu dan tak satupun dari kita yang bisa mengetahui rahasia ini. Bisa jadi kita yang saat ini sedang menjalankan puasa, lantas Alloh takdirkan kita untuk –naudzubillah- unhappy ending di hidup kita, apa jadinya? Bagaimana kalau misal ke depannya Dia takdirkan mereka yang saat ini tidak berpuasa untuk menerima hidayahNya, sehingga kadar kualitas imannya menjadi jauh di atas kita, menjadi jauh lebih baik dari pada kita? Itulah yang tadi aku bilang, hanya masalah waktu saja, dan benar-benar menjadi rahasiaNya.

Begitu juga dengan hanya karena kita sedang berpuasa, lantas kita berhak berkoar-koar menyuruh saudara-saudara kita yang mempunyai warung makan untuk menutup usaha dangangannya? Hei, apa hakmu menutup pintu rejeki mereka? Kita bahkan tidak tahu apa yang terbersit dalam hati mereka. Mereka pasti punya alasan sendiri mengapa sampai harus membuka warungnya di Bulan Ramadhan. Apa setelah kita memaksa mereka untuk tutup lantas kita bisa menjamin kelangsungan hidupnya? Dengan menggantikan aliran rejekinya misalnya. Tidak pernah kan? Setelah engkau berkoar-koar dan mereka menutup usahanya karena menuruti koar-koarmu itu tadi, titik, cukup sampai di situ saja kan? Bahkan engkau tak sempat menganalisa berapa kebutuhan hidup harian keluarga dan kebutuhan sekolah anak-anaknya.

Apa bedanya mereka para pemilik warung makan itu denganmu yang seorang pegawai kantoran? Engkau tetap bekerja berangkat ke kantor di saat bulan Ramadhan kan? karena itu memang pekerjaan dan ladangmu dalam mencari nafkah.

Apa bedanya mereka para pemilik warung makan itu denganmu yang seorang mahasiswa? Engkau tetap kuliah berangkat ke kampus di saat bulan Ramadhan kan? karena itu memang tanggung jawabmu kepada masing-masing orang tuamu.

Sama saja kan? Pemilik warung makan itu juga sedang berusaha mencari nafkah sesuai dengan pekerjaan dan ladangnya yang kebetulan berbeda dengan pekerjaan dan ladangmu untuk mengais rejeki. Pemilik warung makan itu sejatinya juga sedang memikul tanggung jawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya.

Jadi, marilah kita beribadah puasa di Bulan Ramadhan ini tanpa harus menilai orang lain di sekeliling kita, tanpa harus ini dan itu. Apalagi sesuai dengan janjiNya, ibadah puasa ini kan langsung Dia sendiri yang memberikan nilainya.

Saatnya berlomba-lomba dalam hal kebaikan, begitu juga berlomba-lomba dalam mengurangi keburukan. Tidak seorang pun pastinya yang mau kalau lapar dan haus sebulanan ini hanya menjadi sesuatu yang sia-sia hanya karena setitik perbuatan negatif yang mungkin kita lakukan. Kenapa kok harus sampai berlomba-lomba? Tidak sadarkah kita bahwa pertemuan kita dengan Bulan Ramadhan di tahun ini sejatinya adalah sebuah anugerah Sang Kuasa yang begitu besarnya? Berapa banyak saudara-saudara kita yang Ramadhan tahun lalu adalah Ramadhan terakhir bagi mereka. Maka pantaslah bila disebut bahwa pertemuan kita dengan Ramadhan tahun ini adalah anugerah dan kado terindah dari Sang Maha Cinta untuk kita semua. Lantas, apakah setelah Dia berikan anugerah yang begitu besar itu kita akan bersikap biasa saja tanpa menambah amal kebaikan kita, atau bahkan malah melewatkan anugerah itu begitu saja? Betapa kurang ajar dan tidak bersyukurnya kita, sudah diberikan kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya, malah kita sia-siakan kesempatan dan anugerah tersebut. Jadi, ayo sama-sama kita memacu diri, menjadikan Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang lebih baik dan terbaik di antara Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Ayo kejar rahmatNya, ayo kejar kasihNya, ayo kejar ridloNya.

Biarlah tulisan ini tergores untuk menjadi saksi dan pemacu semangat dalam mengisi Ramadhan di tahun ini, minimal untuk diri sendiri.

Thursday, June 11, 2015

pengalaman pertama dengan PO. Coyo

Pulang adalah saat yang paling dinantikan karena segala rindu yang tertahan bisa segera dituntaskan.

Yah, aku ingin segera pulang, tak sabar rasanya berkumpul dengan keluarga di rumah. Persetujuan cuti dari atasan sudah didapat, tinggal menunggu hari saja. Namun sebenarnya masih ada masalah di detik-detik kepulanganku ini, tiket. Betul, pengelana jauh sepertiku ini butuh tiket untuk perjalanan pulang.

Beberapa hari yang lalu, aku sudah sempet main ke kantor Pahala Kencana di daerah Kedawung untuk booking tiket, namun sial, tiket untuk tanggal yang kumaksud habis katanya, baik untuk armada Bandung, maupun armada Jakarta dan Bogor.

Kereta api? Haruskah kepulanganku kali ini ditemani si ular besi? Sudah lama aku tidak menggunakan moda transportasi milik BUMN ini, seingatku terakhir kalinya aku pulang menggunakan kereta api adalah dengan KA Gajayana tujuan Malang, dan itu udah duluuuu banget.

So, bagaimana ini selanjutnya? Tetep kekeuh mau pake bus? Apa mau pake Lorena lagi? Big No! Pengalaman perjalanan jauh tanpa leg rest dan sering berhenti di agen untuk urusan naik turun paket bisa jadi mimpi buruk dalam perjalanan nantinya. Skip. Trus gimana jadinya?

“Gak mau coba naik Coyo, Mas?” Salah seorang bapak driver di kantor, Pak Yanto, tanya ke aku. “Hah, Coyo? Apa itu Pak?” Tanyaku. Aku bener-bener asing dengan nama Coyo. “Bus, Mas. Tujuan Malang, ada agennya kok di Tuparev.” Jelasnya. Wih, aku baru tau nih, ada bus malam dengan nama Coyo yang ambil trayek Cirebon-Malang. Patut dicoba nih, pikirku. “Ayolah Pak, berangkat! Bisa anter saya ke agennya kan?”

Berangkatlah aku ditemani Pak Yanto ke kantor agen Coyo di jalan Tuparev. Aku sering lewat jalan ini, tapi kok rasanya aku gak pernah merhatiin ada agen bus malam di situ yah? Gak lama, nyampe juga di kantor agennya, depan kantor PAM Cirebon tepatnya. Kantornya kecil, ada tulisan “Bus Malam Cepat Coyo, Cirebon-Surabaya-Malang” di depan kantornya. Wuih secepat apa bis ini sampe pasang slogan seperti itu di kantor agennya?

Untuk pertama kalinya dalam sejarah aku nebus tiket kelas Super Eksekutif, 180 ribu harganya untuk tujuan Malang. Super Eksekutif itu, kata bapak agennya, hanya ada 18 seat untuk satu bus, satu seat sebelah kiri dan dua seat di sebelah kanan, berbaris enam ke belakang. Wuiiih, lega banget donk. Proses transaksi selesai, setelah sebelumnya aku banyak nanya tentang kira-kira nyampe malang jam berapa? di Surabayanya masuk terminal gak? Service makan di mana? dan pertanyaan-pertanyaan lain tentang Coyo, maklum, belum pernah naik dan baru kali ini kenalan. Uang 180 ribu kuserahkan, barter dengan selembar tiket dengan tulisan namaku, lengkap dengan waktu keberangkatan dan nomor seat, seat 1. Kurang meyakinkan sebenarnya bentuk lembaran tiketnya, hanya selembar kertas buram dengan logo Coyo dan kolom-kolom untuk mengisikan data penumpang, amat sangat sederhana untuk sebuah tiket bus malam, jauh berbeda dengan penampakan tiket rival-rivalnya sesama bis malam yang bercover aduhai dengan gambar armadanya, lembar tengah untuk penumpang dan cover belakang yang dijadikan satu dengan voucher service makan. But, never mind, gak masalah tiketnya gak meyakinkan, siapa tahu armadanya mantap, we’ll see, makin gak sabar nunggu hari H keberangkatan.

Hari H yang ditunggu-tunggu pun tiba, hari kepulanganku, hari di mana aku akan mulai perjalanan untuk menjumpai sanak keluarga, itu berarti pula hari pertemuan pertamaku dengan Coyo, bus malam cepat Cirebon-Surabaya-Malang.

Jam empat sore aku udah nyampe di terminal Harjamukti Cirebon, pas sesuai dengan arahan agen waktu itu, kumpul di terminal jam empat karena bus akan berangkat setengah lima. Kuedarkan pandangan di area belakang terminal itu yang merupakan tempat parkir bus malam, ada 4 unit bus saat itu, dua armada Ezri dan 2 armada Coyo. Ezri dan Coyo merupakan bus malam asal Pekalongan yang sama-sama memperebutkan hati para penumpang dengan tujuan yang sama, Surabaya atau Malang. Yap, kedua bus yang bergarasi pusat di Pekalongan itu memang mempunyai tujuan yang sama, Cirebon-Surabaya-Malang, keduanya pun berangkat di jam yang sama pula, ajiiib.

Namun aku cukup kaget dan terbengong-bengong dengan penglihatanku saat itu, mataku menangkap objek berupa unit bus Coyo yang terparkir di sana. Benarkah itu busku, bus yang akan menemaniku sepanjang pantura sampai kota Malang nanti? Tuhan, Engkau sedang tidak bercanda kan?

Kudatangi loket Coyo untuk keperluan “daftar ulang” dan kutanyakan pula pada petugas di sana mana bus yang harus aku naiki, dan tepat sesuai dugaanku, memang bus itulah yang akan membawaku nanti mengarungi ganasnya pantura.
  


Kutatap bus berbaju Laksana Panorama 3 di depanku, terlihat usianya yang sudah uzur dengan goresan “luka” di sana-sini yang makin menambah kesan betapa rentanya armada ini. Ini adalah pertama kalinya aku naik Coyo, pertama kalinya pula aku naik bus malam dengan armada setua ini. Masalah dapur pacu, aku tidak terlalu menyangsikan, bus ini diusung oleh mesin Hino RG keluaran sekitar tahun 1999, mesin yang masih jamak dipakai di kalangan bus malam. Melihat track record Hino RG, mesin ini jago di lintasan lurus, namun sayang, untuk tikungan dan tanjakan, Hino RG bukan spesialisnya. Lantas bagaimana bus ini akan melibas Alas Roban atau jalanan Lawang sampai Singosari nantinya? Ah, sudahlah, pilihan sudah ditetapkan, apa boleh buat, saatnya masuk ke kabin.

 

Wuih, lega dan bersih, itu kesan pertama ketika aku mulai menapak kabin, benar-benar super eksekutif, 6 baris ke belakang sangat memungkinkan kaki untuk bisa selonjoran dengan bantuan leg rest, mantap. Namun kesan “berumur” tetap tidak bisa hilang dari pemandangan interior armada ini, langit-langit dan ornamen kabin yang lusuh, motif seat yang belum kekinian, apalagi dashboard yang cukup memprihatinkan, tanpa perangkat audio video, mungkin dulunya pernah ada, namun kini hanya tinggal riwayat.

Kuposisikan diriku di seat sesuai pesanan, seat 1, baris terdepan sebelah kiri, seorang diri, single seat, oke, pemandangan depan terlihat jelas, berarti tidak perlu khawatir untuk menyaksikan pemandangan pantura nanti malam. Let’s go!!

Penumpang sudah mulai masuk, tidak banyak seat yang terisi, mungkin setiap harinya seperti ini, maklum bukan musim liburan, atau nantinya seat-seat itu akan penuh di agen-agen yang nantinya dilewati?

Gas sudah mulai diinjak dan bus pun mulai bergerak keluar terminal, mengikuti armada eksekutif yang ternyata jalan duluan. Menyusul di belakang ada Ezri eksekutif dan super eksekutifnya dengan bodi yang lumayan wah jika dibandingkan dengan Coyo ini.

Gas diinjak perlahan oleh bapak driver, dari penampilannya, beliau sepertinya sudah cukup pengalaman makan asam garam kehidupan jalanan, mungkin ribuan kilo jalanan pernah beliau tapaki. Pergerakan setir juga dikuasai cukup apik sehingga menimbulkan rasa yang tetap nyaman saat bus harus berbelok atau melakukan manuver, sejauh ini laju armada ini cukup positif, berjalan sedang, tidak pelan dan juga tidak cepat, belum saatnya mungkin, pikirku.

Perjalanan mulai sedikit membosankan ketika armadaku tidak menunjukkan taringnya sama sekali, malah menjadi bulan-bulanan bus reguler seperti Sinar Jaya maupun Dewi Sri yang beberapa armadanya sudah mendahului bus ini, akankah memang tabiat bus ini seperti ini? apakah akan terus seperti ini sampai Malang? Kuharap jangan.

Bapak driver dan asistennya masih terus mengobrol ringan dan sesekali bercanda saat bus mulai dibelokkan ke sebuah garasi di daerah Pekalongan, yap ini adalah kantor pusat Coyo, cukup luas dengan puluhan bus terparkir di sana. Bus ini memang selalu mampir di sini untuk keperluan kontrol. Penumpang pun ternyata ada yang naik dari sini, kabin mulai terisi penuh. Tidak lama bus berenti di sini, setelah urusan kontrol dan mungkin administrasi selesai, bus kembali melanjutkan perjalanan.

Masih sama seperti sebelumnya, kali ini Coyo menjadi santapan bus malam yang mulai berjalan beriringan, maklum sudah sekitar jam sembilanan, saat di mana pantura dikuasai oleh ratusan bus malam. Coyo harus mengalah dan ikhlas menjadi bulan-bulanan bus malam lain, kudu nrimo kalau kata orang Jawa. Sudah tak terhitung lagi berapa bus yang dengan mudahnya mengasapi Coyoku ini. aku hanya bisa menatap mereka dengan lemas. Mungkin sudah takdirnya harus begini, hehehe.

Alas Roban akhirnya bisa ditaklukan dengan cukup terengah-engah, bus segera memasuki area parkir rumah makan di daerah Gringsing untuk service makan malam yang aku rasa sudah sangat terlambat, sekitar jam sepuluhan, lebih mungkin. Rumah Makan Sendang Wungu.

Kami, penumpang Coyo, baik kelas eksekutif maupun super eksekutif diarahkan oleh petugas rumah makan untuk masuk ke ruangan yang telah disediakan khusus untuk penumpang Coyo. Bagus, bersih, ber-AC, ada televisinya juga. Makanan yang dihidangkan standar seperti service makan bus malam pada umumnya. Namun yang membuatku salut adalah adaya ruangan khusus yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk kami, para penumpang Coyo di rumah makan ini.

Urusan makan, ibadah dan urusan toilet pun selesai, seluruh penumpang kembali naik ke bus, perjalanan kembali dilanjutkan, dan meleset dari perkiraan, driver masih menjalankan armada ini dengan santai. Sebelumnya aku berpikiran bahwa bus ini akan dipacu dan gas akan dibejek dalam-dalam nanti setelah service makan. Namun itu semua hanya harapan. Mending tidur kalau gini ceritanya.

Sempet terbangun di daerah yang berjalan jelek, entah daerah mana ini, namun mata rasanya berat untuk dibuka, tidur lagi.

Tuban, matahari sudah mulai muncul ketika bus ini berbelok ke sebuah rumah makan untuk istirahat. PO ini memang menerapkan single driver untuk line Cirebon-Surabaya-Malang, menjadi dilema memang, makanya sang Driver harus benar-benar prima. Di sini kami kembali beristirahat, sholat shubuh –yang kesiangan- dan sarapan diluar service makan. Rumah Makan Taman Sari.

Skip, skip, skip.

Mesin RG lumayan menggerung saat harus melibas jalanan sepanjang Lawang sampai dengan Singosari, tipikal track yang menanjak konstan rupanya cukup menguras tenaga Hino ini. Hari sudah sangat siang saat itu, jam sembilanan. Sudah sangat terik.

Coyo masuk Arjosari tepat pukul 11.00, sangat-sangat terlambat pikirku. Kalau dibandingkan dengan armada dari PO lain, start dari Cirebon setelah isya, bisa masuk Malang sekitar jam 6 atau jam 7 pagi. Nah ini, start dari Cirebon masih sangat sore, tapi masuk Arjosari jam segini, sangat terlambat. Namun, paling tidak, Alhamdulillah, Coyo sudah membawaku selamat sampai di temapt tujuan, Malang.

Perjalanan kulanjutkan dengan angkot, atau yang di Malang biasa disebut dengan mikrolet menuju Stasiun Malang untuk selanjutnya menunggu keberangkatan kereta Tawangalun di jam 14.00 yang akan membawaku ke Bumi Blambangan, Banyuwangi.


#mengisahkan cerita lama. Saat ini bus Malam PO Coyo sudah ganti baju menggunakan Legacy, Legalight dan Ultima.

Monday, June 8, 2015

ngetrip Indonesia

Travelling? Why not? Kenapa enggak? Kegiatan travelling ini kini memang mulai digandrungi dan banyak diminati. Untuk beragam tujuan dan kepentingan tentunya, juga dengan berbagai cara. Kegiatan bepergian ke suatu tempat tertentu ini, memang merupakan sebuah hobi bagi sebagain orang, namun ada juga yang melakukannya untuk keperluan eksistensi diri di dunia maya, update foto media sosial, bahkan hanya untuk sekedar mengisi liburan.

Cara yang digunakan pun bervariasi, ada yang menggunakan moda transportasi wah, biasa, bahkan ada yang ala kadarnya, yang penting sampai. Bebas, semua itu memang pilihan, kembali ke individu, kepentingan dan budget anggaran masing-masing.


Bagaimana dengan aku? Mengusung tagline “Ngetrip Indonesia”, aku punya mimpi untuk bisa berkeliling singgah di berbagai tempat di negara ini, Indonesia. Sebanyak yang aku bisa, sejauh yang aku bisa, dan selama yang aku bisa.

Mengapa Indonesia? Mengapa tidak keliling dunia sekalian?

Indonesia itu indah, kawan. Terlalu indah malah. Bagaimana tidak, bumi pertiwi tanah air yang membentang dari ujung timur sampai ujung barat ini dikiaskan laksanan gugusan zamrud khatulistiwa dengan ragam budaya dan potensi wisata yang ada, disajikan lengkap dengan keramahtamahan penduduknya. Apa yang kalian cari, semuanya telah semesta sediakan di negeri indah ini, kawan. Yah, apapun memang ada di sini. Puncak gunung? Banyak. Terpaan angin pantai? Laut cantik Indonesia sudah menanti. Kuliner? Ada. Wisata Religi? Jangan khawatir. Semuanya ada di sini, komplit. Makanya, aku tidak akan pernah rela menukarnya dengan belahan dunia manapun di muka bumi ini.

Yang jelas, jangan sampe nyampah di bumi Indonesia. Jangan pernah ninggalin sampah sekecil dan sesedikit pun di negeriku ini. Indonesia sudah menampilkan keindahannya untuk kalian nikmati, jangan sampai kalian barter pesona itu dengan sampah yang kalian tinggalkan. Sekali kalian buang sampah sembarangan, jangan main-main, aku bela Indonesia di barisan terdepan.

Ngetrip Indonesia, as much as you can, as far as you can, as long as you can. Selagi bisa, selagi ada, selagi muda.

Travelling adalah tabungan masa depan yang sesungguhnya untuk bisa menemukan pendidikan karakter, mental, nurani, terhadap sesama manusia, alam dan juga Tuhan. Sudahlah, jangan takut miskin akibat uang habis karena ngetrip dan jalan-jalan. Justru nanti kalian akan menyesal setelah tua belum pernah ke mana-mana.

Sunday, June 7, 2015

reborn

Akhirnya blog ini kembali lagi setelah beberapa lamanya terdiam tak terurus. Sebenarnya bukannya terdiam, namun selama ini blog ini aku gunakan buat ngerjain tugas sebuah mata kuliah yang dosen pengampunya mengharuskan mahasiswanya untuk meng-upload materi di blog pribadinya masing-masing, so aku gunakan blog ini daripada harus bikin blog lagi. Sekarang, materinya udah pada dihapusin dan blog ini kembali muncul lagi. Reborn.

Kedepannya, mungkin blog ini akan lebih berwarna dengan variasi content yang tidak melulu itu-itu saja. Aku coba untuk menuangkan pengalaman travelling selama ini di blog ini, tidak ada maksud apapun selain untuk keperluan dokumentasi dan berbagi.

Sayang rasanya kalau pengalaman travelling hanya disimpan seorang diri tanpa pernah diceritakan atau dituangkan kisahnya, siapa tahu akan bermanfaat buat sesama, atau minimal bisa menjadi catatan nostalgia dan kenang-kenangan untuk diri pribadi maupun anak cucu kelak.