Wednesday, December 9, 2015

graduation Trip

Perjalanan ini adalah perjalanan dadakan, tanpa rencana, tanpa persiapan sebelumnya. Ada niat, langsung cus berangkat.

Berawal dari kejadian beberapa minggu sebelumnya, saat ada pekerjaan lapangan di daerah pantura Cirebon Timur di kawasan Amirin. Aku melihat ada sosok putih beroda enam melintas dengan gagah. Armada baru berbaju New Setra Jetbus HD2 garapan Adi Putro dengan label nama Handoyo melaju ke Timur arah Jawa Tengah.

Setengah tidak percaya, bukannya Handoyo biasanya menggunakan armada hitam Celcius garapan Rahayu Sentosa? Apa ada peremajaan armada di jalur ini? Bukannya armada Celcius itupun masih lumayan baru? Pertanyaan itu tak terjawab, namun yang jelas pertanyaan itu mulai menyelimuti pikiranku. Mantap. Handoyo punya armada baru dengan baju keluaran terkini Adi Putro.

Anggap juga perjalanan ini sebagai kado setelah Wisuda J

====

Pagi itu, Sabtu 14 November 2015 aku berangkat ngampus, bukan karena ada kelas, tapi untuk melengkapi tanda tangan dosen guna pengambilan ijazah dan transkrip nilai. Jam setengah sepuluh aku start dari kosan, karena waktu yang dijadwalkan untuk ketemuan dengan sang dosen adalah jam sebelas.

Beberapa jam menunggu, sampai akhirnya melebihi waktu yang dijanjikan, sang dosen tak kunjung datang. Kucoba menghubungi via sms, tak berbalas, menghubungi via telepon, tidak ada jawaban, chat via facebook, apalagi. Kucoba untuk menunggu dengan perpanjangan waktu yang kubikin sendiri.

Sambil menunggu di perpanjangan waktu yang aku sepakati sendiri itu, pikiranku mulai menerawang tentang sebuah touring. Perjalanan singkat, cepat saja. Aku mulai bimbang, ini hari Sabtu, besok sudah Minggu dan lusa sudah harus masuk kantor lagi, mau ke mana? Bingung. Apa gak capek?

Tapi keinginan naik bis ini sudah menggebu, entah tiba-tiba saja menjadi semakin menggebu. Kerinduan akan makhluk berbentuk kubus beroda enam ini semakin memuncak. Ah sudahlah, apa kata nanti, perjalanan ini harus segera dimulai. Tapi, kemana?

Masih sambil menunggu Pak Dosen, tapi pikiran udah melayang membayangkan pertarungan sengit pantura. Kuraih handphone, kucari kontak salah satu PO tujuan Yogyakarta, Citra Adi Lancar. Kupikir perjalanan ke Yogya tidak terlalu jauh dan tidak begitu melelahkan, jadi kucoba saja opsi ini.

Via telepon, agen CAL terminal Harjamukti menjelaskan bahwa CAL berangkat pukul setengah delapan malam, dan masuk Giwangan sekitar pukul dua dini hari. Harganya 165.000 rupiah. Langsung skip. Nyampe Giwangan sepagi itu? Trus aku harus ke mana? Ngemper di terminal? Wong touring ini sudah jelas tanpa tujuan, rasanya gak mungkin kalau aku harus nyampe terminal Giwangan Yogya sepagi itu. Ditambah lagi dengan tiketnya yang fantastis dan tidak berimbang dengan armadanya yang sudah sepuh berumur. Skip.

Kucari kontak agen bus yang lain, kali ini pilihanku jatuh ke PO Handoyo. Sekalian sambil menanyakan sosok baru berlivery putih yang kapan hari kulihat. Mas Adji, agen Handoyo mengatakan kalau bus putih tersebut memang armada baru Handoyo dengan trayek Cirebon – Malang yang berakhir di terminal Gadang via Blitar, bukan berakhir di terminal Arjosari. Wuih sebuah pencapaian baru. Jarang-jarang ada bus yang masuk Gadang dan meninggalkan Arjosari sebagai tujuan akhirnya. Namun, masih menurut Mas Adji, armada ini belum rutin jalan, hanya kalau banyak penumpangnya saja bus ini ngeline, kalau sepi ya armada terpakasa perpal dan hanya armada Arjosari saja yang jalan. Kutanyakan tiketnya untuk armada Gadang ini, ternyata sama, 175.000.

Ya udahlah, aku sudah tetapkan, sudah kumantapkan hatiku. Aku pesan satu seat tujuan Malang untuk perjalanan sore itu. Aku nitip pesan ke Mas Adji, kalau armada putih tujuan Gadang berangkat, aku minta dipindah ikut bis tersebut karena sementara ini seat 3 yang kubooking adalah seat di armada Arjosari. Kalaupun bus baru livery putih itu nantinya gak berangkat, aku masih bersyukur karena dapet hot seat di perjalanan nanti sore.



Proses hunting tiket belum berakhir, aku masih butuh armada untuk kepulanganku ke Cirebon. Yang ada dalam pikiranku adalah aku butuh armada yang kecepatannya bisa diandalkan dan nyaman. Karena aku yakin kepulanganku nanti pasti hanya diisi dengan tidur sebagai tebusan karena begadang waktu berangkat malam nanti, juga sebagai persiapan kerja di hari Seninnya. Pilihanku langsung mengerucut ke armada livery nano-nano, apalagi kalau bukan Pahala Kencana. Entahlah, ketika memikirkan aku butuh armada yang nyaman dan kecepatannya mumpuni untuk mengejar kerja di hari Senin, pilihan itu langsung jatuh ke Pahala Kencana, tidak ada pilihan lain. Inilah keputusan yang nantinya membuat aku menyesal.

Kucari kontak Mas Dedi, agen Pahala Kencana Jalan Pattimura, aku booking satu seat tujuan Bandung untuk keberangkatan besok, aku tidak pedulikan lagi mau dapet seat berapa, wong perjalanan ini pasti nantinya akan kuisi dengan tidur dan tidur. Tak disangka aku masih dapet seat yang lumayan depan, 4A. Tak lupa aku bilang ke Mas Dedi, untuk urusan pengambilan dan pembayaran tiket, akan aku selesaikan di agen Arjosari esok pagi, Mas Dedi menyetujui.

Urusan tiket clear. Perjalanan ini harus dimulai karena aku sendiri yang menyulut apinya. Kulihat jam tangan, sudah pukul satu siang. Pak Dosen yang ditunggu-tungu pun belum juga dating. Oke, ditinggal saja. Aku harus berkemas. Segera saja aku berjalan menuju parkiran dan cus meninggalkan kampus menuju kosan.

====

Saat itu sudah jam setengah tiga. Semuanya sudah aku selesaikan begitu datang dari kampus tadi siang. Menyeterika 2 potong kaos, satu untuk berangkat, dan satu untuk besok pulang. Juga menyeterika 1 potong celana lagi untuk berjaga-jaga apabila celana yang kupakai ada masalah atau basah ketumpahan apa gitu di jalan. Lebih baik persiapan daripada mencari solusi setelah adanya kejadian di perjalanan.

Aku berangkat ke terminal naik elf. Menurut Mas Adji, Handoyo Malang berangkat setengah empat, berbeda dengan Handoyo tujuan Surabaya yang berangkat satu jam setelahnya. Sesampainya di terminal, kabar itu akhirnya kuterima, kabar bahwa si putih hari itu perpal. Kecewa. Tapi show must go on. Kubayar selembar tiket tujuan Malang itu sesuai tarifnya di harga 170.000. Tinggal menunggu keberangkatan.

Sore itu suasana terminal Harjamukti di area keberangkatan bus malam cukup sepi. Hanya ada beberapa bis saja yang sedang parkir. Tampak ada satu armada Citra Adi Lancar sedang dimandikan, rupanya itu armada jatah nanti malam. Ada satu armada Super Executive Coyo yang juga sudah berada di jalurnya, sedang menunggu jam keberangkatan. Aku dengar kabar dari mbak Endang, agen Coyo Arjosari, bahwa sudah beberapa bulan ini Coyo hanya memberangkatkan satu armada saja, tidak lagi dua armada seperti biasa. Seperti halnya sore itu. Hanya tampak satu armada berbaju Legacy dengan livery naga merah.

Di area yang lain terdapat satu armada Colby Persada yang masih satu group dengan Ezri. Sepertinya sore itu Ezri tidak memberangkatkan satupun armadanya. Busnya sepi, dipanasin mesinnya saja pun tidak. Satu PO lagi yang tampak hari itu adalah Handoyo, tiga armada. Dua armada yang sedang menunggu penumpang dengan tujuan masing-masing adalah Malang via Solo dan tujuan Surabaya via Pantura, satu lagi armada Handoyo yang sedang perpal, New Setra Jetbus HD2.


Rupanya kehadiran Handoyo di Cirebon mampu menarik pelanggan Coyo dan Ezri sebagai pemain lama di jalur Cirebon–Surabaya–Malang untuk berpindah kesetiaan. Tampak sekali ketimpangannya. Armada Handoyo begitu ramai dikerubungi penumpang, sedangkan kedua pesaingnya yang lebih berpengalaman hanya kebagian pelanggan setianya saja. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan bagi Coyo untuk hanya menjalankan satu armadanya saja, hitung-hitungan soalarnya gak masuk mungkin kalau harus tetap memberangkatkan dua armada setiap hari.

Di area pemberangkatan Handoyo sore itu, ada dua bus yang sedang melakukan pemanasan mesin. Keduanya berbaju Celcius karya Rahayu Sentosa. Satu berwarna hitam, dan satu berwarna cokelat, masih dengan dapur pacu yang sama, Hino RK8. Armada warna cokelat bertrayek Cirebon–Surabaya via pantura, sedangkan armada warna hitam adalah armada yang nantinya akan kutunggangi, jurusan Cirebon–Malang via Solo.


Jam sudah menunjukkan pukul 16.00, namun tidak ada tanda-tanda bus akan diberangkatkan. Masih menunggu penumpang yang belum datang, begitu kata Mas Adjie. Kru bus pun masih sibuk memasukkan karung-karung paket di bagasi sebelah kanan. Aku yang saat itu sudah duduk santai di seat-ku hanya memperhatikan kesibukan di sekitaran terminal, sambil sesekali mengamati interior bis ini. Aku sudah pernah menunggangi armada ini sebelumnya, namun itu sudah sangat lama, berarti dengan hari ini, dua kali aku melibas malam bersamanya.

Tampak Coyo sudah terlebih dahulu berangkat, entah siapa yang sore itu mendapat giliran sebagai pilot si Legacy naga merah. Aku tampak kecewa, kok duluan Coyo sih yang berangkat, harusnya kan Handoyo ini berangkat setengah empat tadi.

Tak lama kemudian, dua orang penumpang yang ditunggu datang dan segera naik ke kabin. Bapak kenek melakukan final check, dan memberikan kode kepada driver untuk segera berangkat. Pak Agus yang sore itu menjadi driver pertama, segera meraih tuas perseneleng, memindahkannya ke gigi mundur, dan mesih Hino pun mulai menggerung.

Keluar lokasi terminal, di kejauhan tampak Coyo yang berangkat sebelumnya. Masih di sana dia ternyata. Saat mendekati fly over Tiga Berlian, Coyo lebih memilih lewat jalan under pass, mau minum solar mungkin, sedangkan Handoyo lebih memilih naik fly over. Gas sedikit dibejek oleh Pak Agus yang sore itu berpenampilan rapi dengan kaos polo warna kuning dan celana jeans biru, lengkap dengan sepatu pantofelnya.

Melintasi rumah makan Aroma, terdapat armada Pahala Kencana bermesih MB 1526 dengan trayek tujuan Madura keluar dari rumah makan. Handoyo tidak memberikan jalan, sehingga PK keluar setalah Handoyo lewat. Kini Handoyo punya teman seperjalanan dengan posisi Handoyo di depan dan PK di belakangnya.

Di rumah makan Kalijaga2, terlihat armada PO. Haryanto yang sedang service makan, entah HR berapa, yang jelas menggunakan baju Zeppelin livery paduan emas dan hitam jahitan karosore Gunung Mas. Zeppelin yang menurutku hampir mirip dengan New Setra Jetbus HD2 punya Adi Putro, sangat mirip malah, entahlah aku belum menemukan perbedaannya.


Lepas fly over Gebang, Handoyo memberikan sein kiri, menurunkan rpm mesin, dan berjalan menepi sehingga membiarkan Pahala Kencana di belakangnya merangsek mendahului. Bus ternyata menepi untuk menaikkan dua sarkawi. Masih menjadi kebiasaan Handoyo, punya sarkawi yang terorganisir. Mereka tidak dicari oleh kru, tapi para sarkawi ini telah menelepon kru sebelumnya dan minta untuk naik dari sini, dari sini. Rapi.

Perjalanan pun kembali dilanjutkan, sepi. Tidak ada bus malam jam segini yang melintasi pantura. Handoyo memang memiliki jadwal keberangkatan yang lebih awal sehingga tidak mungkin untuk bertemu dengan bus malam asal Jakarta di jalanan. Tidak ada yang bisa dilihat sampai akhirnya di daerah Brebes, Handoyo berhasil mengasapi Asli Prima bumel yang memang berjalan pelan di lajur kiri. Lalu lintas sore itu cukup lancar, kecuali saat sampai di depan Rumah Sakit Bhakti Asih Brebes, macet, entah ada apa. Semua kendaraan diam, sesekali maju perlahan. Handoyo masih membuntuti Pahala Kencana yang tadi ketemu di rumah makan Aroma. Pak Agus bilang, kalo PK blong kanan, kita ikut. Namun ternyata PK masih setia bermacet-macet ria. Tidak tampak pergerakan untuk melakukan blong kanan.

Lepas kemacetan, Handoyo masih membuntuti Pahala Kencana yang mulai menjauh. Sampai akhirnya masuk terminal Tegal untuk ambil penumpang di agen. Perjalanan kembali diteruskan.

Skip, skip.

Masuk terminal Pemalang, kembali ambil penumpang di Agen. Setelah penumpang agen Pemalang terangkut, Pak Agus kembali menjalankan Handoyo ini dengan kalem, mungkin memang begitu pembawaannya. Lepas pemalang, kembali terjebak macet. Kali ini kemacetan terlihat lebih panjang dan parah. Handoyo tidak lagi membuntuti Pahala Kencana karena proses berhenti-berhenti di agen yang membuat Handoyo harus ketinggalan jauh. Saat terperangkap kemacetan ini, tiba-tiba dari belakang, Haryanto yang tadi sedang service makan, ngeblong kanan diikuti Coyo yang tadi keluar lebih dahulu dari terminal Cirebon. Sial, umpat Pak Agus yang tidak bisa mengikuti keduanya karena terjebak di lajur kiri. Cepat juga ternyata armada Pak Haji ini. Ketemu di RM Kalijaga2 sedang service makan, ditinggal keluar masuk terminal untuk menaikkan penumpang, Haryanto masih bisa mengejar. Ternyata itu adalah HR 135 team Wonogiri. Sesekali patut dicoba nih pasukan Haryanto yang memang diunggulkan dalam hal kecepatan. Suatu saat.

Lepas dari kemacetan yang ternyata disebabkan oleh adanya penyempitan jalur akibat perbaikan jalan, Pak Agus masih kalem menjalankan mesin RK8 ini. Begitu ikhlas saat diasapi oleh Akas Asri trayek Jakarta–Jember dengan baju JetBusHD rombakan Dafi Putra. Tanpa perlawanan.

Masuk terminal Pekalongan. Ternyata tidak hanya penumpang agen yang naik dari sini, melainkan juga berkarung-karung paket. Berhenti sangat lama di sini, sampai akhirnya armada Surabaya pun datang. Proses menaikkan paket sangat lama, karena saking banyaknya. Bagasi sudah tidak muat. Pihak agen koordinasi dengan kru yang akhirnya diambil keputusan bahwa paket dinaikkan ke dalam kabin saja karena bagasi kanan kiri sudah penuh. Paket dinaikkan dan dimasukkan ke kandang macan. Ternyata masih tidak cukup juga, akhirnya paket diletakkan menggunung di depan toilet yang membuat toilet dan pintu belakang tidak dapat diakses. Wew.

Urusan paket beres, Handoyo kembali berangkat di jam 21.11. Kali ini perjalanan tidak sendiri, karena armada Surabaya ikut membuntuti di belakang. Lumayan ada teman untuk menghadapi trek Alas Roban.

Menghadapi Alas Roban dengan suguhan trek menanjak dan berliku tidak terlalu kupusingkan. Aku masih sangat percaya kalau Hino RK8 ini mampu melibasnya dengan sangat mudah. RK8 adalah mesin yang tidak hanya mumpuni di trek lurus datar, namun juga unggul di tanjakan. Hal itu terbukti di tanjakan Alas Roban pun, Handoyo ini masih bisa mendahului beberapa truk yang mulai tersengal menghadapi ganasnya tanjakan Alas Roban. Pak Agus menjalankan armada dengan sangat smooth.

Handoyo masuk Alas Roban di jalur lama, tidak menggunakan jalur baru karena memang service makan Handoyo ada di rumah makan Indorasa3 yang terletak tepat selepas Alas Roban, tidak jauh dari rumah makan Menara Kudus. Tikungan-tikungan tajam berhasil dilibas dengan sangat mudah sampai akhirnya sampai di rumah makan diikuti dengan saudaranya, Handoyo cokelat tujuan Surabaya.

Malam itu suasana parkiran Indorasa3 yang memang menjadi tempat service makan Handoyo terlihat sepi, mungkin karena sudah terlalu malam dan melewati jadwal biasanya. Kemacetan panjang dan proses naikin paket di Pekalongan tadi menjadi penyebab armada ini terlambat masuk rumah makan. Tapi itu ada hikmahnya, suasana rumah makan menjadi kondusif, tidak kotor karena banyaknya orang dan mbak-mbak pelayan pun bisa melayani dengan baik. Berbeda dengan saat pengalaman pertama naik Handoyo, sampai di rumah makan ini di saat ramai-ramainya, suasana rumah makan benar-benar full, penuh dengan keruwetan dan segala rupa.

Selain dua armada Handoyo dari Cirebon, di rumah makan ini juga terparkir 2 armada lain. Satu armada Patas tujuan Jakarta-Solo berbaju Celcius dan satu armada tujuan Solo–Jakarta yang juga berbaju Celcius, namun dilengkapi dengan empat strobo di depannya.

Service makan di rumah makan ini tidak dilayani dengan prasmanan, semuanya sudah dijatah. Penumpang hanya tinggal mengambil piring yang sudah lengkap dengan nasi dan lauknya. Malam itu menunya adalah ayam goreng dengan paduan sayur asem. Beberapa penunpang terlihat lebih memilih menu yang lain dengan cara membeli di counter makan daripada mengambil “jatah”, menunya tidak cocok mungkin.

Di Indorasa3 ini, bis tidak berhenti lama. Aku yang saat itu sudah selesai makan, beres urusan toilet dan sholat magrib yang disatukan dengan isya, segera naik ke bus. Driver dua yang ambil posisi saat ini. Entah siapa namanya, namun perawakannya gagah dengan rambut yang agak gondrong. Aku berharap banyak pada driver ini.

Keluar rumah makan, gas langsung dibejek. Tepat sesuai dengan perkiraanku. Driver ini jauh lebih berani ketimbang Pak Agus. Lepas rumah makan, Handoyo membuntuti Lorena yang begitu cantik memainkan sein. Goyang kanan, goyang kiri, sangat cantik driver Lorena ini dalam permainan sein sehingga bisa diikuti oleh kendaraan di belakangnya. Namun itu tidak lama, Handoyo yang kali ini lebih bertenaga dengan driver dua, mampu melibas Lorena. Namun, tepat sebelum masuk Kendal, kemacetan kembali terjadi, kali ini jauh lebih parah. Stuck.

Ada mungkin satu jam kendaraan berhenti, bergerak sangat perlahan dan kembali berhenti. Ternyata ada laka di jalur seberang, arah Jakarta. Truk pengangkut cairan kimia terguling sehingga menutup seluruh badan jalan arah Jakarta yang mengakibatkan penyempitan jalur arah Semarang karena dipakai untuk dua arah.

Lepas dari kemacetan, melewati batas kota Kendal, Handoyo memporak-porandakan konvoi tiga armada Sindoro Satriamas dan 1 unit Agra Mas. Konvoi yang sebelumnya rapi ini hancur dipecundangi Handoyo. Handoyo di tangan driver dua ini tampak seperti bukan armada solar jatah. Tidak puas sampai di situ, masih di Kendal, kembali NS93 tujuan Jakarta–Kudus berhasil diasapi dari lajur kiri. Gila.

Sampai di terminal Mangkang, Handoyo tidak masuk terminal. Retribusi TPR dilempar begitu saja oleh kenek ke arah Petugas yang berjaga di luar terminal. Di SPBU setelah Mangkang, Handoyo kembali menepi, mau minum solar pikirku, ternyata meleset. Handoyo kembali menaikkan dua orang sarkawi di sini. Kru panen ternyata, lumayan, ada empat sarkawi yang mereka angkut malam ini.

Sampai di pertigaan depan kampus Stekom, Handoyo berpisah dengan rekannya. Handoyo yang kutumpangi ambil kanan untuk masuk Tol Manyaran, berpisah dengan saudaranya yang meneruskan perjalanan ke Surabaya via Pantura. Bus yang kutumpagi melaju dengan ngotot di dalam tol, jarum speedometer bahkan pernah mencapai angka 110 saat sesekali kulirik dari seat-ku. Tak lama, Handoyo keluar di exit Tol Bawen, ambil arah kiri, meneruskan perjalanan ke kota Solo.

Handoyo masuk kota Solo di jam 2.11, tidak masuk terminal karena memang tidak ada penumpang yang turun Solo. Kota Solo memang cantik, bahkan di saat dini hari seperti ini pun susana dan kondisinya begitu indah, masih saja ramai.

Pertahananku mulai goyah di sini. Rasa kantuk mulai menyerang hingga akhirnya tidur ayam, masih bisa kurasakan bagaimana armada ini berlari kesetanan dengan driver dua, tanpa komando dan aba-aba dari kenek karena kenek pun sudah tertidur.

Aku terbangun penuh, tidak lagi tidur ayam, membetulkan posisi duduk, mencari tau posisi. Ternyata bus sudah masuk Nganjuk, entah jam berapa saat itu. Mata masih sepet, dan kembali merem.

Kembali terbangun saat ada dua orang penumpang yang turun di agen Mojosari. Kedua orang ini adalah penumpang yang duduk di seat tepat di belakangku. Dengan turunnya kedua penumpang ini, maka reclining seat bisa aku maksimalkan, kuturunkan penuh sandaran kursiku. Ini saatnya istirahat, rebah dalam dekapan seat pabrikan Aldila. Benar-benar ngantuk, sebab selama perjalanan tadi, kondisi seat yang terlalu mepet, membuat badan benar-benar terasa capek. Bagaimana tidak sempit, bis ini berisikan 38 seat, sudah bukan konfigurasi bus eksekutif umunya, ini udah masuk konfigurasi bis patas mungkin. Kini saatnya tidur beneran, mempersiapkan tenaga untuk hari ini.

Saat menurunkan penumpang di agen Mojosari ini, posisi kemudi kembali berpindah ke tangan Pak Agus, cocok nih buat tidur.

Sinar matahari mulai menerpa wajah, silau. Pukul 07.16 saat aku melihat jam tangan. Aku terbangun, di mana ini. Kubetulkan posisi kursi, tidak lagi rebah. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sekitar, ini sudah Karanglo, wow!! Aku tidur dari Mojokerto sampai Karanglo, Singosari? Amazing. Ini tidur apa pules? Sebentar lagi sampai berarti. Dan benar, tidak lama, bis sudah berbelok kiri menuju terminal Arjosari, menurunkan beberapa penumpang di Taspen, dan jalan terus menuju terminal. Ternyata bus berhenti lagi di SPBU di sebelah pintu masuk terminal. Semua penumpang lebih memilih turun di sini daripada harus menunggu Handoyo selesai minum. Begitupun aku.

=====

Selamat pagi, Malang. 15 November 2015.

Memasuki area terminal, yang pertama kali kucari adalah kamar mandi umum. Badan udah lengket pengen banget mandi. Urusan mandi di terminal bukan lagi masalah, rata-rata kamar mandi umum di terminal kondisinya sudah bersih sekarang. Beres urusan mandi, tempat berikutnya yang dicari adalah warung makan. Makanan di warung-warung sekitaran terminal Arjosari tergolong manusiawi dalam masalah harga, seperti pagi itu, sepiring nasi pecel dengan lauk perkedel jagung dan telor ceplok ditebus hanya dengan Rp 12.000, cukup manusiawi kan?

Urusan sarapan kelar. Aku kembali berjalan di area terminal, tujuanku selanjutnya adalah kantor agen Pahala Kencana, karena kemaren sudah janji ke Mas Dedi buat nebus tiketnya di terminal. Agen Pahala Kencana di terminal Arjosari berada di bagian paling depan di antara deretan agen-agen bus yang lain. Ada dua orang mbak-mbak yang pagi itu “ngantor” di agen Pahala Kencana. Langsung kusebut saja keperluanku ke salah satu mbak yang di sana, si mbak lalu mengambil selembar tiket dan mengisinya, setelah selesai, tiket itu segera berpindah ke tanganku, barter dengan sejumlah harga yang tertulis di sana.



Urusan di terminal beres, saatnya keliling Malang. Tempat yang pertama aku tuju adalah alun-alun kota Malang yang pagi itu suasananya ramai sekali.



Cukup susah ambil foto di spot ini karena selalu saja ada yang foto di tempat ini. Ada juga arena buat main skateboard di alun-alun ini.



Masjid agung kota Malang yang biasa disebut dengan Masjid Jami’


Siang itu ada Macyto, Malang City Tour, bus wisata untuk keliling kota Malang, seperti halnya Bandros kalau di Bandung. Namun sial, hari itu Macyto tertutup untuk umum, sedang disewa, kata petugasnya.


Tujuan berikutnya adalah Taman Tugu yang terletak persis di seberang gedung Balai Kota Malang.




Hari sudah semakin siang, saatnya makan siang. Menu kali ini harus benar-benar aneh. Menu yang jarang aku makan. Oke, pilihan jatuh ke Tahu Campur. Muter-muter cari warung yang sesiang itu jualan tahu campur, karena biasanya tahu campur dijual malam hari. Akhirnya dapat juga di daerah Klojen, dekat dengan kantor agen Kramat Djati.


Ya seperti itulah penampakan tahu campur. Komposisinya yang pasti adalah potongan tahu ditambah tauge, daun sla, bihun, potongan daging sapi dan kikil, lentho (olahan dari singkong) dan irisan lontong, kesemuanya disiram dengan kuah petis panas yang yahud, buat kalian yang belom pernah coba, kudu cobain makanan yang satu ini, dijamin nagih.

Karena jam sudah semakin lewat tengah hari, perjalanan harus segera dilanjutkan. Cari angkot arah terminal Arjosari. Dalam perjalanan ke terminal inilah akhirnya aku tahu letak garasi Restu Mulya yang ternyata di daerah dekat lapangan Rampal dan garasi Ezri di dekat kawasan Araya. Sepanjang perjalanan menuju terminal, karena kebetulan aku duduk di depan, so perjalanan diisi dengan mendengarkan curhatan mas driver tentang istrinya yang setelah lama kerja di luar negeri, malah minta cerai. Hmmm.

Nyampe terminal, lapor ke agen, ternyata masih mbak-mbak tadi pagi yang jaga. Mbak-mbaknya bilang buat langsung aja ke parkiran, bus-nya sudah siap. Di parkiran memang sudah tampak barisan bus malam yang malam ini akan turun aspal. But wait, ke toilet dulu, ke musholla dulu. Hehehe.

Beres semua urusan, kini saatnya poto-poto, namun langsung shock begitu melihat sosok hijau Gunung Harta yang siang itu parkir pas di sebelah Pahala Kencana. Ya ampuuun cantiknya, GH kinyis-kinyis dengan baju New Setra Jetbus HD2 garapan Adiputro bermesin Scania K360. Mengapa bus ini benar-benar terlewat dari pikiraku saat kemarin hunting tiket balik dari Malang? Kok ya gak kepikiran sama sekali buat booking GH kemaren? Airsus lagi,, haduuuh.


Dan taraaa, ini penampakan bisku, Pahala Kencana tujuan Bandung. Oke, baju Jetbus garapan AP, tapi mesinnya? Hino RG, terlihat dari posisi hand brake yang terletak di samping seat driver, persis seperti hand brake mobil pada umunya. Langsung lemes. Apalagi kalau kembali menatap si ijo GH di sebelahnya.


Ini penampakan interiornya, masih cukup terawat. kursi buatan Aldila yang lumayan tebal, nyaman buat bobomania.


Kembali lihat-lihat kondisi parkir terminal pemberangkatan bus malam, sambil sesekali melirik Gunung Harta. Hehehe. Sore itu 3 Pahala Kencana (tujuan Bandung, Merak dan Jakarta/Bogor), 1 Gunung Harta (tujuan Bogor) dan 2 Lorena (tujuan Jakarta dan gak tau satunya ke mana, seingatku Sumatera) yang sudah siap di jalur pemberangkatan.


Ada juga Malino Putra dan ALS yang masih parkir di tempatnya.


Busku pun diberangkatkan, seat sebelah masih kosong, entah memang kosong atau ada penumpangnya yang bakal naik dari agen mana, aku gatau. Badan capek banget pokoknya. Namun lumayan, sebelum seat sebelah terisi, bisa dikuasai, hehehe. Crew membagikan snack. Hino RG berjalan perlahan di antara kemacetan, lengkap dengan bunyi kriyet-kriyetnya.

Entah tertidur berapa lama, yang jelas, sejak tadi snack dibagiin, masih sempat berjalan ke depan buat ngecharge power bank di steker yang dipasang di atas seat 2A-2B, langsung terkapar, ngantuk banget. Bangun-bangun saat berada di tengah kemacetan, namun masih berjalan walaupun perlahan. Surabaya. Loh kok masuk Surabaya?

Gak lama, PK masuk ke kantornya di Jalan Arjuno, disusul 2 PK yang tadi bareng dari Malang. Loh kok sekarang PK Malang masuk Surabaya? Emang PK Surabaya gak jalan? Mungkin karena penumpang sedang sepi, pemberangkatan armada pun dibatasi dan diatur sedemikian rupa.

Perjalanan ke Barat ini biasa saja, tanpa aksi blong-blongan. Seat sebelah baru terisi saat service makan di Taman Sari, Tuban. Rupanya penumpang ini adalah penumpang terakhir yang menggenapi kekosongan seat PK Bandung, dengan naiknya penumpang ini, semua seat PK Bandung malam ini menjadi full. Tak lupa, aku ambil power bank yang tadi aku charge di steker di atas seat 2A-2B

Oh iya, saat makan di Taman Sari ada penampakan PK livery ombak biru loh, tertulis di kacanya jurusan Banyuwangi-Jakarta, loh kok malah perpal di sini? Entah sudah berapa hari parkir di sana.


Perjalanan lebih sering kuisi dengan tidur setelah sebelumnya kusempatkan ngobrol dengan mas-mas yang duduk di kursi sebalah. Tidur,,, tidur,,,

Yang jelas, dari perjalanan bersama PK ini aku jadi tau kalo check point PK di Tegal telah pindah ke Rumah Makan Aroma, Cirebon. Jadi semua PK kontrol di sini, baik dari Timur maupun dari Barat, persis kayak pas masih di Tegal, bedanya, di sini PK dari Barat, selain kontrol juga service makan. Jadi bisa dipastiin PK gak lagi masuk Tol Pejagan.


Akhirnya, sampai juga di kosan jam 7.00. Catatn waktu yang lumayan buruk untuk PK Bandung, karena selama beberapa kali ikut armada ini, biasanya selalu bisa mendarat di kosan sebelum jam setengah enam.

graduation

Hari itu, 24 Oktober 2015 adalah momen sakral bagiku. Aku diwisuda setelah berhasil menyelesaikan pendidikan jenjang kemahasiswaan untuk yang pertama kalinya. Loh kok untuk yang pertama kalinya? Ya siapa tau nanti diwisuda lagi untuk yang kedua atau yang ketiga, hehehe,, Amiin.

Ummi, Fira dan Sultan hadir di acara ini. Terima kasih buat semuanya, juga buat Abi dan Mbak yang gak bisa hadir, terima kasih buat doa dan segala hal untukku selama ini. Tanpa kalian semua, aku gak akan bisa sejauh ini, gak akan sampai di momen ini. Terima kasih telah mengantarkanku sampai di titik ini, kalian memang segalanya.