Sunday, April 17, 2016

tour de Central Java (3/5)


... ...  Suasana gerbong lumayan sepi, di gerbong kedua ini tidak semua kursi terisi penuh saat railbus ini diberangkatkan dari stasiun Purwosari. Kami mengisi perjalanan dengan waktu tempuh hampir dua jam ini dengan mengobrol apapun, nostalgia, kerjaan, temen, ketawa haha-haha hehe-hehe, juga termasuk plan-plan masa depan kami masing-masing.

Keadaan gerbong railbus ini masih cukup bagus dan terawat, sangat bersih bahkan. Papan informasi dengan lampu led berjalan yang menunjukkan lokasi stasiun yang dituju berikutnya berikut dengan display kecepatan kereta masih berfungsi dengan sangat baik, begitu juga dengan jam digitalnya. Oh iya, kecepatan Batara Kresna tidak akan pernah lebih dari 30 kilometer per jam.


Aku dan Nanda sepakat bahwa kebanyakan atau hampir semua penumpang Batara Kresna adalah mereka yang hanya sekedar liburan, tidak ada satupun penumpang yang tampak formal seakan mau ada suatu urusan di Wonogiri, semuanya adalah penumpang santai.


---


Selamat datang Wonogiri. Akhirnya nyampe juga di kota kecil ini. Adalah sebuah pengalaman pertama aku menginjakkan kaki di sini, di Wonogiri. Tapi tidak dengan Nanda, karena dia sempat dinas beberapa lamanya di sini. Jadi paling tidak, trip Wonogiri ini gak buta-buta banget. Tidak seperti trip-trip sebelumnya yang hanya mengandalkan Google dan Map.

 

Benar saja seperti yang kita bicarakan sebelumnya di dalam railbus, hampir semua yang naik Batara Kresna adalah mereka yang cuman jalan-jalan. Terbukti, mayoritas penumpang yang turun bareng kita, langsung ambil antrian untuk beli tiket balik lagi ke Solo, ternyata mereka cuman pengen ngerasain sensasi naik Batara Kresna ini.

Terus iki awak’e dewe kate nandi?” (Terus ini kita mau ke mana nih?).

Nanda menanyakan tujuan kita selanjutnya. Aku juga bingung sebenernya mau ke mana setelah nyampe di Wonogiri ini. Sambil duduk-duduk di depan stasiun, kita akhirnya rundingan menyusun strategi. Haha. Akhirnya nemu tujuan yang jelas buat sementara, paling gak kita gak cuman nongkrong di stasiun ini terus seharian. Tujuan yang kita setujui adalah alun-alun dan masjid agung Wonogiri. Oke, sip.

Menurut aplikasi Map di Android, jarak dari stasiun ke alun-alun adalah 4.1 Km, tapi itu langsung dibantah mentah-mentah sama Nanda, gak mungkin katanya. Menurut dia yang pernah numpang hidup di kota ini, jarak dari stasiun ke alun-alun itu deket, bisa ditempuh pake jalan kaki malahan. Wah? Oke, “manut”.

Kita berdua akhirnya jalan kaki menyusuri jalanan Wonogiri. Sumpah, cuaca Wonogiri siang itu panas banget. Jaket Nanda malah dipake buat nutupin kepalanya. Jaketku? Ada di backpack, bermesraan bareng sarungnya Nanda yang dititipin ke aku.

Nanda punya rencana, biar gak panas, jalanan ini bisa ditembus via Mall yang kata Nanda terbesar dan satu-satunya di Wonogiri itu. Mall itu nembus dari blok jalan yang satu ke blok jalan di belakangnya, jadi bakal lumayan gakan kepanasan. Tapi apalah daya, begitu masuk mall, Pak Satpam langsung menghampiri kami, jaket yang dipakai Nanda dan backpack di punggungku harus dititipin katanya, walah, gagal deh jadinya mau jalan ngadem. Kami kepaksa keluar dari mall lagi, dan kembali jalan berpanas-panasan menuju alun-alun dan masjid agung.

Ternyata benar apa yang dibilang Nanda, tidak terlalu jauh, tapi cukup keringetan. Kami sampe juga di depan alun-alun yang berhadapan langsung dengan masjid agung dan kantor Bupati Wonogiri. Masjid agung Wonogiri saat itu ternyata masih dalam proses renovasi, tapi masih bisa digunakan buat ibadah, kami numpang Dzuhur di sana, di lantai dua, sekalian buat ngadem dan istirahat.


Beres sholat, bingung lagi mau ke mana. Googling tentang tempat wisata di Wonogiri, ternyata ada banyak, terutama wisata karst dan juga pantainya, tapi itu jauh kata Nanda. Tempat yang paling mungkin buat didatengin adalah waduk Gajah Mungkur katanya, bisa diakses dengan sekali naik bis jurusan Praci. Tapi nanti setelah di waduk ngapain? Cuman ngeliatin waduk ajah? Apa asyiknya? Aku kebayang akan waduk Darma di kuningan yang pemandangannya cuman gitu-gitu ajah. Googling lagi tentang Gajah Mungkur, ternyata di sana ada wahana wisatanya, oke, sepakat, berangkaaaat. Jalan lagi sampe di jalanan yang menjadi rute bis Solo-Praci. Mayan, keringetan lagi.

---

Mujur saat itu, pas kami nyampe jalanan yang jadi rute bis arah Praci, lagi ada bis yang ngetem, kami segera naik dan bis langsung diberangkatkan. Bener-bener penuh, Nanda sampe harus duduk di atas mesin bis dengan dapur pacu Hino AK seri lawas ini, sedangkan aku berdiri di pinggir pintu depan, udah mirip banget sama kenek bis.


Jalanan yang dilewati berupa rimbunan hutan hijau dengan kontur jalan yang meliuk-liuk, angin segar berhembus dari pintu lumayan membuat kerinduan akan murninya oksigen ini terpenuhi. Ini adalah perjalanan keren, naik bis ke waduk Gajah Mungkur, berdiri di pinggir pintu, untuk pertama kalinya lagi. Oh iya, bis yang aku tumpangi ini adalah bis Raya, versi Ekonomi. Perjalanan ini kami barter dengan harga sepuluh ribu per orang. Tanpa karcis ataupun tiket sebagai bukti bayar.


Wonogiri, yang terkenal dengan kota gaplek ini juga terkenal dengan Perusahaan Otobis-nya yang sangat banyak. Banyak PO-PO besar yang “ngandang” dan lahir di kota ini. Sebut saja Gajah Mungkur, Tunggal Dara, Tunggal Daya, Sedya Mulya, Gajah Mulia Sejahtera, Timbul Jaya, Sindoro Satria Mas, Gunung Mulia dan masih banyak yang lainnya. PO-PO pribumi ini kini harus bersaing ketat dengan beberapa pendatang di tanah Wonogiren seperti Agra Mas, Raya, Armada Jaya Perkasa, Laju Prima, bahkan sampai ke Pahala Kencana juga turut meramaikan dunia per-bis-an di Wonogiri.

Tak lama, akhirnya kami sampai di depan obyek wisata Bendungan Serbaguna Gajah Mungkur. Tampak sebuah danau buatan yang begitu luas menghampar di depan mata. Tidak salah kalau bendungan ini menjadi bendungan terluas se Asia Tenggara. Bendungan ini dibangun sekitar tahun 1970 yang konon menenggelamkan sampai dengan sebelas kecamatan dan harus memaksa ribuan pendudukanya untuk bedol desa, transmigrasi ke beberapa daerah di Sumatera, inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya beberapa Perusahaan Otobis di daerah Wonogiri.

Waduk Gajah Mungkur, selain difungsikan sebagai pusat kebutuhan air bersih bagi masyarakat Wonogiri, Solo, Klaten dan sekitarnya, juga digunakan sebagai pembangkit listrik, peningkatan ekonomi masyarakat dengan adanya keramba dan jala apung, serta sebagai tempat wisata tentunya.


Setelah bayar tiket sekaligus dengan asuransinya, kami berdua pun masuk ke kawasan wisata Gajah Mungkur. Nanda yang dulunya pernah ke sini sebelumnya mengatakan bahwa di dalamnya ada wisata naik Gajah. Tapi suer, kami udah muter-muter kawasan wisata ini, gak ngelihat seekor pun gajah di dalamnya. Sampai kami pun sepakat perjalanan wisata kami ke Gajah Mungkur ini mempunyai misi Pencarian Seekor Gajah. Hahaha. Bahkan sampe jalan ke ujung pun kami gak nemu. Haha.


Pas lagi jalan sambil foto sana-sini, kami ditawari sama mas-mas di sana untuk eksplor waduk lebih jauh, bisa  pake perahu atau bisa juga pake kapal cepat seukuran jet ski dengan mesin di bagian belakang. Untuk perahu dipasang tariff Rp 80.000,- per orangnya, dan harus menunggu sampai kuota perahu terpenuhi, entah berapa, lupa, hehe, tujuannya adalah wisata keramba, bisa sambil kasih makan ikan katanya. Sedangkan yang kapal cepat seukuran jet ski dibandrol dengan harga Rp 120.000,- per perahu, tujuannya adalah ke pintu air dekat PLTA.

Sempat ragu mau ambil buat nyobain atau gak. Mas-mas yang tadi nawarin ngeyakinin kalau semuanya bakal aman karena rompi pelampung juga disediakan. Masih juga ragu. Tapi ah udahlah, kepalang tanggung udah di Gajah Mungkur masa ya gak nyobain, deal, sewa satu kapal cepat. Berangkat.


Eh, ternyata asyik juga naik kapal cepat keliling waduk sampai ke pintu air. Ketawa-ketawa lepas bahagia, awalnya sih request ke mas nahkodanya buat pelan-pelan, tapi lama-kelamaan kok ya tertantang juga buat gas pol, wuuuh, kapal melaju seperti jet ski, terbang-terbang dihempas ombak menyisakan barisan buih dari air yang terbelah di buritan.


Beres narsis-narsis di sekitaran kapal keruk sedimentasi waduk dan pintu air, mas nahkoda kembali jalanin kapalnya, kenceng banget sampe berasa terbang-terbang gitu, bukannya takut malah ketawa-ketawa kitanya. Hehe. Mas nahkoda menawarkan sekalian wisata karamba sambil ngasih makan ikan juga, cukup nambah 80 ribu dari harga awal katanya. Hmm, kita nawar total 150ribu dari yang awalnya 120ribu ternyata gak dikasih, yaudah tetep ke plan awal, langsung menepi.

Nyampe dermaga, aku segera menghampiri mas-mas di sana buat bayar biaya sewa kapal barusan, Rp 120.000,- namun dengan syarat harus ada tiketnya. Beberapa kali aku ke tempat wisata, terkadang bea masuk tidak dibarengi dengan tiket, lah terus bukti bayar kami apa? Bukti setor mereka ke Dinas Pariwisata ntar apa? Karena gak pegang tiket, mas-mas itu segera ke pos jaga, menemui atasannya mungkin buat minta tiket bukti bayar.

Sambil nungguin mas-nya ngambil tiket, aku sama Nanda masih berasa boat-lag, hahaha. Sambil pesen dua gelas es teh untuk masing-masing kami di seorang Ibu penjual minuman, Nanda yang saat itu masih kekeuh bahwa di kawasan wisata ini ada Gajahnya, bertanya langsung ke Ibu penjual es teh tadi.

Menurut Ibu penjual es teh, dulunya emang ada Gajah di sini, buat wisata juga, tapi sekarang udah gak ada, udah lama malah gak adanya. Begitu ngedenger jawaban dari si Ibu, Nanda langsung jumawa, Lho kan tenan opo jareku, dikandani ono kok,, Hahaha.” (Tuh kan bener apa kata aku juga, dibilangin ada kok, hahaha).


Oh iya, di kawasan waduk Gajah Mungkur, banyak banget penjual minuman, jadi jangan kuatir bakal kehausan selama di sini. Gak cuman penjual minuman, penjual hasil olahan hasil waduk pun ada di segala penjuru waduk, mulai dari ikan goreng, udang goreng dan lainnya, semua bisa dibeli ons-ons’an. Kalaupun ingin makan, banyak juga kok warung yang menawarkan menu ikan bakar sebagai menu andalannya.


Mas-mas yang tadi akhirnya dateng juga, bawa segepok tiket dan menyobeknya selembar untukku. Amazing, ini tiket lembar pertama, nomor serinya juga masih xxxx1. Hehehe. Kubarter dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya, seratus dua puluh ribu rupiah.


---

Aku udah berada di pinggir jalan di seberang kawasan Waduk Gajah Mungkur, bareng Nanda. Kami nunggu bis yang akan membawa kami balik ke Solo. Waktu udah nunjukin jam tiga waktu itu, karena menurut informasi dari Bapak-bapak yang bertugas di kawasan waduk, bis arah Solo paling terakhir adalah jam setengah empat atau jam empat sore. Jadi kami harus bersegera pulang biar masih bisa dapet bis. Satu-satunya armada yang bisa membawa kami ke Solo, gak ada angkutan lain.

Tak lama, sebuah bis Raya lewat dan berhenti di depan kami. Kami berdua langsung naik lewat pintu belakang, pintu yang paling dekat dengan kami, masuk ke kabin, dan ambil seat paling depan sebelah kanan yang saat itu lagi kosong. Penumpang bis memang relatif sepi, tidak seperti pas waktu kami berangkat tadi.

Masih dengan mesin yang sama dengan bis yang kunaiki sebelumnya. Armada tua Raya ini juga menggunakan Hino AK seri lawas sebagai pemasok tenaga dapur pacunya. Namun jangan salah, perfoma-nya masih bisa diandalkan, meraung-raung melintasi tanjakan, turunan juga jalanan yang berkelok. Bis bermesin depan memang jagonya di trek seperti ini. Lebih galak dan lebih responsive.


Bapak kondektur menagih rupiah sebagai ongkos kami. Kusodorkan selembar uang lima puluh ribuan dan dikembalikan setengahnya oleh Bapaknya. Lagi-lagi tanpa tiket sebagai bukti bayar seperti perjalanan saat berangkat tadi. Ada yang lucu di sini. Nanda marah-marah, ngedumel sendiri dia. Bagaimana gak ngedumel, pas berangkat tadi, kita bayar 20.000 untuk dua orang sebagai ongkos Wonogiri-Waduk Gajah Mungkur, lah ini, cukup bayar 25.000 berdua untuk jarak Waduk Gajah Mungkur-Solo. Hahaha, resiko backpakeran. Siyyal, awak’e dewe diapusi maeng, Bro.” (Sial, kita dibohongi tadi, Bro).

---

Jam setengah lima kurang kita udah mendarat di depan kantor Nanda. Tidak langsung pulang ke kost, tapi malah justru masuk ke dalam gedung kantor karena Nanda minta diajari tentang suatu hal, terkait kerjaan. Ya, seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sama Nanda emang kerja di perusahaan yang sama, divisi yang sama, dengan jobdesk yang sama juga, hanya beda branch, aku di Cirebon dan dia di Solo.

Beres sharing ilmu sama Nanda, masih juga belom langsung pulang, Nanda ngajakin nongkrong di angkringan depan kantor. Lumayan buat ganjel perut katanya. Maklum kita emang belom makan siang, terakhir makan ya tadi sebelum naik Batara Kresna. Beberapa gorengan yang dibakar dan masing-masing segelas es teh langsung jadi santapan. Alhamdulillah. Oh iya, dalam perjalanan turun dari bis tadi menuju kantor, Nanda sempet nunjukin warung dengan menu babat gongso, ah sial, sampe dengan tulisan ini diposting, aku masih kepikiran. Ueanak Bro, wes tah ngko ta’ fotokan.” (Uenak Bro, udah lah nanti aku fotoin).  Sial!!

---

Malem harinya, kita mau cari makan sambil keliling Solo. Tapi dari pas kita pulang tadi, gerimis udah bikin basah tanah Solo. Nunggu agak reda lah biar gak terlalu basah ntar di jalanan.

Begitu dateng tadi, aku langsung mandi sekaligus Magrib, dan tebak apa yang kami lakuin setelahnya? Kami sama-sama tertidur dengan kondisi tivi masih menyala, pintu kamar kebuka, dan tidur dengan posisi malang melintang. Mungkin kami terlalu lelah, hahaha.

Gerimis yang ditunggu gak juga berenti, “Ayo lah Nda, budhal ae wis, gerimis banyu ae kok, paling yo mek teles, hahaha.” (Ayolah Nda, berangkat aja, cuman gerimis air ini, paling juga cuman basah, hahaha).

Dan kami pun akhirnya berangkat, naik motor menyusuri jalanan kota Solo ditemani rintik hujan, sempet ngelewatin Markobar yang lagi nge-hits, sayang gak sempet beli buat nyobain. Entah mau di bawa ke mana aku malam ini sama Nanda buat makan, muter aja pokoknya. Ternyata Nanda membawa aku ke Car free Night di daerah Ngarsopuro.

Car free Night malem itu relatif sepi, tak banyak pengunjung, begitu juga dengan jumlah pedagang yang kata Nanda juga gak serame biasanya, Nanda juga otomatis kehilangan incerannya, makhluk dengan pakaian mini yang berlenggak-lenggok aduhai, hahahaha. Mungkin karena gerimis jadi Car free Night malam ini gak rame kayak biasanya.

Di sini kita jajan terlebih dahulu, bakso goreng dan bakso bakar. Sumpah ini tampak romantis, kalau tidak pengen disebut nggilani, dua orang pria, jajan bakso bakar, jalan bareng, ditambah dengan cuaca yang gerimis, wkwkwkwk.

Perjalanan menyusuri Car free Night ini kami sudahi di lapak seorang Ibu penjual nasi liwet khas Solo. Nanda memesan satu porsi dengan lauk kulit sapi, sedangkan aku juga seporsi, tapi dengan lauk hati dan ampela. Nanda pesen segelas es teh manis, sedangkan aku udah punya sebotol air mineral yang tadi kubeli pas beli bakso bakar.


Owalah, jadi gini toh nasi liwet Solo itu, kirain  bakal sama dengan nasi liwet di Jawa Barat. Rasanya, not bad lah, mungkin karena aku tadi ketinggian ekspektasinya tentang nasi liwet ini, jadinya ya berasa biasa ajah, haha. Beres makan, kami kekenyangan. Nanda bahkan gak sanggup buat berdiri, minta injury time, katanya. Tapi memang, sumpah, porsinya banyak banget gak kira-kira.


Perut udah mulai turun, udah bisa nerusin jalan lagi. Kami jalan ke parkiran motor. Di sini lagi-lagi aku disuguhi pemandangan keren. Tukang parkir di sini ngebekel kanebo. Jadi karena hujan, otomatis jok motor  pada pada basah, nah sama mas-mas parkirnya, jok kita itu dibersihin loh pake kanebo yang di bawanya sebelum kita ambil motor. Yampun, ini keren, aku baru liat yang kayak gini. Lanjutkan, Mas.

Kami nerusin muter-muter ke sekitaran Solo, nelusurin rel Batara Kresna yang tadi pagi kita jajal, muter ke alun-alun, ngeliat banyak pedagang yang jualan tongseng gukguk di pinggir jalan. Trus kita gatau lagi ke mana lagi tujuan kita. Tapi Nanda berubah, dia jadi banyak diem di jalan. Gak ngelucu lagi kayak biasanya. Aku minta mampir bentar ke minimarket, mau beli minuman dingin buat di kosan, kutawari Nanda barangkali mau titip apa, dia juga gak mau. Ada yang gak beres sama ini bocah rupanya. Beres dari minimarket, Nanda ngarahin laju motornya arah pulang, balik ke kosan. Dan tebak apa yang bikin Nanda berubah? Dia kebelet boker ternyata sodara-sodara, huahahahaha. Dan ketawaku makin lebar saat tahu posisinya yang lagi kebelet, ternyata kamar mandinya lagi ada yang make, hahahahaha.

Sial, gara-gara peristiwa kebelet tadi, main kita jadi kurang jauh, pulang kita juga jadi kurang malam, haha.

Malemnya, kita cuman nonton film di kosan, film Apocalypto. Nanda ternyata baru nonton film ini, yampun padahal ini kan film udah ada dari jaman kita STM. Pas lagi nonton, Nanda marah-marah tiap kali aku nyeritain kelanjutan dari suatu kejadian di film itu, hahahaha.

---

Minggu, 10 April 2016, 6:00

Sepagi ini kami udah nyampe aja di depan kantor Nanda. Tadi pagi ada drama, kebangun udah jam setengah lima, Mandi, beres mandi, Shubuh, Nanda masih juga tidur, yampun nih anak. Trus akhirnya dia bangun juga sambil bilang, “Iki untuk pertama kalinya loh aku tangi sepagi iki, tenan.” (Ini untuk pertama kalinya loh aku bangun sepagi ini, beneran). Sementara Nanda mandi, aku beresin backpack karena nanti aku langsung cus ke Cirebon dari Prambanan.

Berangkat pagi-pagi karena jadwal hari ini singkat, bis yang bawa aku balik ke Cirebon berangkat jam 13.30 siang nanti, jadilah kami yang belum sempet sarapan ini udah harus berangkat untuk memulai acara main hari ini. Eh, sebenernya perut kami juga gak kosong-kosong banget sih, tadi sebelum berangkat kami dapet rejeki, dapet dua potong cakue dari tetangga sebelah kamar Nanda, cakue hangat yang baru saja digoreng, mayaan.

Kami berangkat ke kantor Nanda terlebih dahulu buat nitipin motor kayak kemarin, trus nantinya trip akan dimulai dengan ke Jogjakarta main ke Candi Prambanan sekaligus ambil paket wisata Keraton Ratu Boko. Oh iya, hari ini kami tidak lagi berdua seperti pasangan homo yang lagi bulan madu, personil hari ini nambah satu, jadi tiga orang. Dialah Niar, yang belom juga nongol dari tadi.

Sambil nungguin Niar, kami berdua ngobrol bareng security kantor sambil liat-liat masyarakat Solo yang pagi itu menikmati Car free Day di jalanan depan kantor. Mayoritas mereka pada olahraga, tapi gak sedikit juga yang cuman sekedar jalan-jalan.


Tak lama, Niar dateng pake motor, markirin motornya di basement kantor, dan langsung gabung bareng kita. Niar ngulurin tangannya buat jabat tangan. Ini adalah pertemuan keduaku dengan Niar, setelah sebelumnya kita pernah ketemu di acara gathering kantor di Banjarnegara. Nah, pas di Banjarnegara ini, Niar sempet digoda-godain loh sama kita-kita dari tim Cirebon, hahaha. Oh iya, Niar ini juga kerja di satu perusahaan yang sama dengan aku dan Nanda.

Ikutnya Niar kali ini berawal dari percakapan kita tadi malem sepulang dari Car free Night. “Nda, Niar kok ra melok iki maeng? Gak mbok ajak a?” (Nda, Niar kok gak ikut ini tadi? Gak kamu ajakin?”.
Jarene se sakjane pengen melu, tapi arek’e wedi ngganggu keintiman kita berdua jarene, haha.” (Katanya sih dia pengen ikut sebenernya, cuman dianya takut ganggu keintiman kita berdua katanya).
Hahaha, sial! Yo wis, sesuk jak’en ae arek’e cek rame.” (Hahaha, sial! Ya udah besok ajakin aja dianya biar rame).

Begitulah, jadinya hari ini kita bertiga, berangkat ke Jogjakarta.

[Niar]

Seperti halnya aku udah ngenalin tentang Nanda, maka aku juga kudu ngenalin Niar di sini. Hehehe. Dia udah wanti-wanti aku biar nulis yang baik-baiknya ajah katanya, ooh tidak bisa, haha.


Pemilik nama lengkap Kharismaniar ini adalah dara asli Solo, suaranya kecil kalo lagi ngomong, persis seperti gambaran tokoh-tokoh putri Solo, hehe. Gak cuman suaranya aja ding yang kecil, badannya juga kurus kecil gitu, kalopun didandani pake baju biru-putih buat ikutan Ujian Nasional SMP kayaknya masih cocok kok, hehe. Tapi plis, jangan bayangin kecilnya cuman segede anak kucing yah. Haha.

Gak banyak yang aku tau tentang Niar kecuali dia adalah cemewew-nya Nanda, aku udah coba berkali-kali cari tentang dia via Google, tapi nihil. Gak ada. Misterius nih anak, tidak terdeteksi. Biasanya kalau kita search tentang seseorang, paling gak kita dapet data diri atau ada lah data di Dinas Pendidikan gitu, tapi Niar beda, datanya gak ada.

Kucoba cari di media sosial. Instagram nihil, Twitter juga gak ada. Aku sempet berfikir jangan-jangan akun sosmed-nya menggunakan nama-nama alay, tidak menggunakan nama aslinya. Haha. Satu-satunya prestasi pencarianku tentang anak ini adalah akun Facebook-nya dan juga sederetan angka nomor resi pengiriman barang dari sebuah online shop di Batam yang dikirim atas nama Kharismaniar tujuan Solo.

Dari akun Facebooknya, tidak ada yang bisa aku ambil informasinya. Posting terakhirnya bahkan juga udah  beberapa tahun yang lalu. Haduuh. Aku sempet konfirmasi ke Niar tentang susahnya cari data tentang dia. Aku ora eksis og Mas. Nek tentang aku takono Nanda ngko lak dikandani, sing elek-elek tok tapi pastine, hehe.” (Aku gak eksis kok Mas, Kalau mau tau tentang aku, tanya aja ke Nanda ntar juga dikasih tau, yang jelek-jelek doank tapi pastinya, hehe).

So, aku gak dapet apa-apa buat ngejelasin tentang data diri Niar, bahkan tanggal lahir aja aku gak punya datanya. Sebenernya bisa aja sih aku nanya ke bagian HRD kantor buat nanyain tentang Niar, tapi sebegitu pentingnya kah? Hahaha. Yang jelas, dua kali ketemu Niar, dia adalah pemilik rambut yang sedikit bergelombang dengan panjang se-lengan yang biasa dibiarkan tergerai nutupin pundaknya. Penyuka bakso goreng dan pecinta sinetron Anak Jalanan. Nah, kecintaannya ke sinetron Anak Jalanan ini akhirnya nular juga ke Nanda, hahaha.

Dari Niar aku banyak denger kata-kata dalam bahasa Jawa yang selama ini udah jarang banget aku denger, jadi berasa lucu dengernya, seperti kata “gur, tekan, kowe, bar, kae, mung, nganti, wae” dan masih banyak lagi yang lain. Berasa flashback ke beberapa tahun silam saat masih di STM dengan teman beragam yang dateng dari segala penjuru Jawa, bahkan Indonesia. Oh iya, satu lagi, selama interaksi dengan Niar, belum pernah dia memanggil aku atau Nanda dengan kata “sampean”, dia lebih lebih sering manggil pake kata “kowe” atau “mu” kalau buat akhiran. Malahan aku yang lebih sering manggil dia dengan “sampean”. Atau memang tipikal Solo seperti ini yah?

Sekilas, dari yang aku lihat kemarin, Niar orangnya lembut, khas Solo banget lah anaknya, mandiri, gak gampang rewel, juga gampang bergaul. (Niar, jangan lupa transfer yah, ini udah aku tulis yang baik-baiknya doank loh, hahaha).

---

Kami bertiga udah di dalam bis medium dalam perjalanan ke terminal Tirtonadi. Sebelumnya Nanda bilang kalo kata Niar, nunggu bis arah Jogja-nya gak perlu ke terminal, bisa di pinggir jalan. Tapi menurut yang aku tau dari blog-blog bismania, bis Solo-Jogja yang bisa diberentiin dari luar terminal hanyalah bis lokal seperti Aneka Jaya dan Suharno. Nah, kalau mau naik bis Surabayaan, harus dari terminal. Karena dua bis tersebut udah punya perjanjian, jatah penumpang jalanan hanya untuk bis lokal Solo-Jogja, sedangkan bis Surabaya-Solo-Jogja hanya bisa naikin penumpang di terminal. Jadilah kita pagi ini berangkat ke terminal terlebih dahulu. <bersambung>


No comments:

Post a Comment