...
... Suasana gerbong lumayan sepi, di gerbong kedua ini tidak semua kursi
terisi penuh saat railbus ini diberangkatkan dari stasiun Purwosari. Kami
mengisi perjalanan dengan waktu tempuh hampir dua jam ini dengan mengobrol
apapun, nostalgia, kerjaan, temen, ketawa haha-haha hehe-hehe, juga termasuk
plan-plan masa depan kami masing-masing.
Keadaan
gerbong railbus ini masih cukup bagus dan terawat, sangat bersih bahkan. Papan
informasi dengan lampu led berjalan yang menunjukkan lokasi stasiun yang dituju
berikutnya berikut dengan display kecepatan kereta masih berfungsi dengan
sangat baik, begitu juga dengan jam digitalnya. Oh iya, kecepatan Batara Kresna
tidak akan pernah lebih dari 30 kilometer per jam.
Aku
dan Nanda sepakat bahwa kebanyakan atau hampir semua penumpang Batara Kresna
adalah mereka yang hanya sekedar liburan, tidak ada satupun penumpang yang
tampak formal seakan mau ada suatu urusan di Wonogiri, semuanya adalah
penumpang santai.
---
Selamat
datang Wonogiri. Akhirnya nyampe juga di kota kecil ini. Adalah sebuah
pengalaman pertama aku menginjakkan kaki di sini, di Wonogiri. Tapi tidak
dengan Nanda, karena dia sempat dinas beberapa lamanya di sini. Jadi paling
tidak, trip Wonogiri ini gak buta-buta banget. Tidak seperti trip-trip
sebelumnya yang hanya mengandalkan Google dan Map.
Benar
saja seperti yang kita bicarakan sebelumnya di dalam railbus, hampir semua yang
naik Batara Kresna adalah mereka yang cuman jalan-jalan. Terbukti, mayoritas
penumpang yang turun bareng kita, langsung ambil antrian untuk beli tiket balik
lagi ke Solo, ternyata mereka cuman pengen ngerasain sensasi naik Batara Kresna
ini.
“Terus
iki awak’e dewe kate nandi?” (Terus ini kita mau ke mana nih?).
Nanda
menanyakan tujuan kita selanjutnya. Aku juga bingung sebenernya mau ke mana
setelah nyampe di Wonogiri ini. Sambil duduk-duduk di depan stasiun, kita
akhirnya rundingan menyusun strategi. Haha. Akhirnya nemu tujuan yang jelas
buat sementara, paling gak kita gak cuman nongkrong di stasiun ini terus seharian.
Tujuan yang kita setujui adalah alun-alun dan masjid agung Wonogiri. Oke, sip.
Menurut
aplikasi Map di Android, jarak dari stasiun ke alun-alun adalah 4.1 Km, tapi
itu langsung dibantah mentah-mentah sama Nanda, gak mungkin katanya. Menurut dia
yang pernah numpang hidup di kota ini, jarak dari stasiun ke alun-alun itu
deket, bisa ditempuh pake jalan kaki malahan. Wah? Oke, “manut”.
Kita
berdua akhirnya jalan kaki menyusuri jalanan Wonogiri. Sumpah, cuaca Wonogiri
siang itu panas banget. Jaket Nanda malah dipake buat nutupin kepalanya.
Jaketku? Ada di backpack, bermesraan bareng sarungnya Nanda yang dititipin ke
aku.
Nanda
punya rencana, biar gak panas, jalanan ini bisa ditembus via Mall yang kata
Nanda terbesar dan satu-satunya di Wonogiri itu. Mall itu nembus dari blok
jalan yang satu ke blok jalan di belakangnya, jadi bakal lumayan gakan
kepanasan. Tapi apalah daya, begitu masuk mall, Pak Satpam langsung menghampiri
kami, jaket yang dipakai Nanda dan backpack di punggungku harus dititipin
katanya, walah, gagal deh jadinya mau jalan ngadem. Kami kepaksa keluar dari
mall lagi, dan kembali jalan berpanas-panasan menuju alun-alun dan masjid
agung.
Ternyata
benar apa yang dibilang Nanda, tidak terlalu jauh, tapi cukup keringetan. Kami
sampe juga di depan alun-alun yang berhadapan langsung dengan masjid agung dan
kantor Bupati Wonogiri. Masjid agung Wonogiri saat itu ternyata masih dalam
proses renovasi, tapi masih bisa digunakan buat ibadah, kami numpang Dzuhur di
sana, di lantai dua, sekalian buat ngadem dan istirahat.
Beres
sholat, bingung lagi mau ke mana. Googling tentang tempat wisata di Wonogiri,
ternyata ada banyak, terutama wisata karst dan juga pantainya, tapi itu jauh
kata Nanda. Tempat yang paling mungkin buat didatengin adalah waduk Gajah
Mungkur katanya, bisa diakses dengan sekali naik bis jurusan Praci. Tapi nanti
setelah di waduk ngapain? Cuman ngeliatin waduk ajah? Apa asyiknya? Aku
kebayang akan waduk Darma di kuningan yang pemandangannya cuman gitu-gitu ajah.
Googling lagi tentang Gajah Mungkur, ternyata di sana ada wahana wisatanya,
oke, sepakat, berangkaaaat. Jalan lagi sampe di jalanan yang menjadi rute bis
Solo-Praci. Mayan, keringetan lagi.
---
Mujur
saat itu, pas kami nyampe jalanan yang jadi rute bis arah Praci, lagi ada bis
yang ngetem, kami segera naik dan bis langsung diberangkatkan. Bener-bener
penuh, Nanda sampe harus duduk di atas mesin bis dengan dapur pacu Hino AK seri
lawas ini, sedangkan aku berdiri di pinggir pintu depan, udah mirip banget sama
kenek bis.
Jalanan
yang dilewati berupa rimbunan hutan hijau dengan kontur jalan yang meliuk-liuk,
angin segar berhembus dari pintu lumayan membuat kerinduan akan murninya
oksigen ini terpenuhi. Ini adalah perjalanan keren, naik bis ke waduk Gajah
Mungkur, berdiri di pinggir pintu, untuk pertama kalinya lagi. Oh iya, bis yang
aku tumpangi ini adalah bis Raya, versi Ekonomi. Perjalanan ini kami barter
dengan harga sepuluh ribu per orang. Tanpa karcis ataupun tiket sebagai bukti
bayar.
Wonogiri,
yang terkenal dengan kota gaplek ini juga terkenal dengan Perusahaan Otobis-nya
yang sangat banyak. Banyak PO-PO besar yang “ngandang” dan lahir di kota
ini. Sebut saja Gajah Mungkur, Tunggal Dara, Tunggal Daya, Sedya Mulya, Gajah
Mulia Sejahtera, Timbul Jaya, Sindoro Satria Mas, Gunung Mulia dan masih banyak
yang lainnya. PO-PO pribumi ini kini harus bersaing ketat dengan beberapa
pendatang di tanah Wonogiren seperti Agra Mas, Raya, Armada Jaya Perkasa, Laju
Prima, bahkan sampai ke Pahala Kencana juga turut meramaikan dunia per-bis-an
di Wonogiri.
Tak
lama, akhirnya kami sampai di depan obyek wisata Bendungan Serbaguna Gajah
Mungkur. Tampak sebuah danau buatan yang begitu luas menghampar di depan mata.
Tidak salah kalau bendungan ini menjadi bendungan terluas se Asia Tenggara.
Bendungan ini dibangun sekitar tahun 1970 yang konon menenggelamkan sampai
dengan sebelas kecamatan dan harus memaksa ribuan pendudukanya untuk bedol
desa, transmigrasi ke beberapa daerah di Sumatera, inilah yang menjadi
cikal-bakal lahirnya beberapa Perusahaan Otobis di daerah Wonogiri.
Waduk
Gajah Mungkur, selain difungsikan sebagai pusat kebutuhan air bersih bagi
masyarakat Wonogiri, Solo, Klaten dan sekitarnya, juga digunakan sebagai
pembangkit listrik, peningkatan ekonomi masyarakat dengan adanya keramba dan
jala apung, serta sebagai tempat wisata tentunya.
Setelah bayar tiket sekaligus dengan asuransinya,
kami berdua pun masuk ke kawasan wisata Gajah Mungkur. Nanda yang dulunya
pernah ke sini sebelumnya mengatakan bahwa di dalamnya ada wisata naik Gajah.
Tapi suer, kami udah muter-muter kawasan wisata ini, gak ngelihat seekor pun
gajah di dalamnya. Sampai kami pun sepakat perjalanan wisata kami ke Gajah
Mungkur ini mempunyai misi Pencarian Seekor Gajah. Hahaha. Bahkan sampe jalan
ke ujung pun kami gak nemu. Haha.
Pas
lagi jalan sambil foto sana-sini, kami ditawari sama mas-mas di sana untuk
eksplor waduk lebih jauh, bisa pake perahu atau bisa juga pake kapal
cepat seukuran jet ski dengan mesin di bagian belakang. Untuk perahu dipasang
tariff Rp 80.000,- per orangnya, dan harus menunggu sampai kuota perahu
terpenuhi, entah berapa, lupa, hehe, tujuannya adalah wisata keramba, bisa
sambil kasih makan ikan katanya. Sedangkan yang kapal cepat seukuran jet ski
dibandrol dengan harga Rp 120.000,- per perahu, tujuannya adalah ke pintu air
dekat PLTA.
Sempat
ragu mau ambil buat nyobain atau gak. Mas-mas yang tadi nawarin ngeyakinin
kalau semuanya bakal aman karena rompi pelampung juga disediakan. Masih juga
ragu. Tapi ah udahlah, kepalang tanggung udah di Gajah Mungkur masa ya gak
nyobain, deal, sewa satu kapal cepat. Berangkat.
Eh, ternyata asyik juga naik kapal cepat keliling
waduk sampai ke pintu air. Ketawa-ketawa lepas bahagia, awalnya sih request ke
mas nahkodanya buat pelan-pelan, tapi lama-kelamaan kok ya tertantang juga buat
gas pol, wuuuh, kapal melaju seperti jet ski, terbang-terbang dihempas ombak menyisakan
barisan buih dari air yang terbelah di buritan.
Beres
narsis-narsis di sekitaran kapal keruk sedimentasi waduk dan pintu air, mas
nahkoda kembali jalanin kapalnya, kenceng banget sampe berasa terbang-terbang
gitu, bukannya takut malah ketawa-ketawa kitanya. Hehe. Mas nahkoda menawarkan
sekalian wisata karamba sambil ngasih makan ikan juga, cukup nambah 80 ribu dari
harga awal katanya. Hmm, kita nawar total 150ribu dari yang awalnya 120ribu
ternyata gak dikasih, yaudah tetep ke plan awal, langsung menepi.
Nyampe
dermaga, aku segera menghampiri mas-mas di sana buat bayar biaya sewa kapal
barusan, Rp 120.000,- namun dengan syarat harus ada tiketnya. Beberapa kali aku
ke tempat wisata, terkadang bea masuk tidak dibarengi dengan tiket, lah terus
bukti bayar kami apa? Bukti setor mereka ke Dinas Pariwisata ntar apa? Karena
gak pegang tiket, mas-mas itu segera ke pos jaga, menemui atasannya mungkin
buat minta tiket bukti bayar.
Sambil
nungguin mas-nya ngambil tiket, aku sama Nanda masih berasa boat-lag,
hahaha. Sambil pesen dua gelas es teh untuk masing-masing kami di seorang Ibu
penjual minuman, Nanda yang saat itu masih kekeuh bahwa di kawasan
wisata ini ada Gajahnya, bertanya langsung ke Ibu penjual es teh tadi.
Menurut
Ibu penjual es teh, dulunya emang ada Gajah di sini, buat wisata juga, tapi
sekarang udah gak ada, udah lama malah gak adanya. Begitu ngedenger jawaban
dari si Ibu, Nanda langsung jumawa, “Lho kan tenan opo jareku, dikandani
ono kok,, Hahaha.” (Tuh kan bener apa kata aku juga, dibilangin ada kok,
hahaha).
Oh iya, di kawasan waduk Gajah Mungkur, banyak
banget penjual minuman, jadi jangan kuatir bakal kehausan selama di sini. Gak
cuman penjual minuman, penjual hasil olahan hasil waduk pun ada di segala
penjuru waduk, mulai dari ikan goreng, udang goreng dan lainnya, semua bisa dibeli
ons-ons’an. Kalaupun ingin makan, banyak juga kok warung yang menawarkan menu
ikan bakar sebagai menu andalannya.
Mas-mas yang tadi akhirnya dateng juga, bawa segepok tiket dan menyobeknya selembar untukku. Amazing, ini tiket lembar pertama, nomor serinya juga masih xxxx1. Hehehe. Kubarter dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya, seratus dua puluh ribu rupiah.
---
Aku
udah berada di pinggir jalan di seberang kawasan Waduk Gajah Mungkur, bareng Nanda.
Kami nunggu bis yang akan membawa kami balik ke Solo. Waktu udah nunjukin jam
tiga waktu itu, karena menurut informasi dari Bapak-bapak yang bertugas di
kawasan waduk, bis arah Solo paling terakhir adalah jam setengah empat atau jam
empat sore. Jadi kami harus bersegera pulang biar masih bisa dapet bis.
Satu-satunya armada yang bisa membawa kami ke Solo, gak ada angkutan lain.
Tak
lama, sebuah bis Raya lewat dan berhenti di depan kami. Kami berdua langsung
naik lewat pintu belakang, pintu yang paling dekat dengan kami, masuk ke kabin,
dan ambil seat paling depan sebelah kanan yang saat itu lagi kosong. Penumpang
bis memang relatif sepi, tidak seperti pas waktu kami berangkat tadi.
Masih
dengan mesin yang sama dengan bis yang kunaiki sebelumnya. Armada tua Raya ini
juga menggunakan Hino AK seri lawas sebagai pemasok tenaga dapur pacunya. Namun
jangan salah, perfoma-nya masih bisa diandalkan, meraung-raung melintasi
tanjakan, turunan juga jalanan yang berkelok. Bis bermesin depan memang jagonya
di trek seperti ini. Lebih galak dan lebih responsive.
Bapak
kondektur menagih rupiah sebagai ongkos kami. Kusodorkan selembar uang lima puluh
ribuan dan dikembalikan setengahnya oleh Bapaknya. Lagi-lagi tanpa tiket
sebagai bukti bayar seperti perjalanan saat berangkat tadi. Ada yang lucu di
sini. Nanda marah-marah, ngedumel sendiri dia. Bagaimana gak ngedumel, pas
berangkat tadi, kita bayar 20.000 untuk dua orang sebagai ongkos Wonogiri-Waduk
Gajah Mungkur, lah ini, cukup bayar 25.000 berdua untuk jarak Waduk Gajah
Mungkur-Solo. Hahaha, resiko backpakeran. “Siyyal, awak’e dewe diapusi
maeng, Bro.” (Sial, kita dibohongi tadi, Bro).
---
Jam
setengah lima kurang kita udah mendarat di depan kantor Nanda. Tidak langsung
pulang ke kost, tapi malah justru masuk ke dalam gedung kantor karena Nanda
minta diajari tentang suatu hal, terkait kerjaan. Ya, seperti yang aku bilang
sebelumnya, aku sama Nanda emang kerja di perusahaan yang sama, divisi yang
sama, dengan jobdesk yang sama juga, hanya beda branch, aku di Cirebon dan dia
di Solo.
Beres
sharing ilmu sama Nanda, masih juga belom langsung pulang, Nanda ngajakin nongkrong
di angkringan depan kantor. Lumayan buat ganjel perut katanya. Maklum kita
emang belom makan siang, terakhir makan ya tadi sebelum naik Batara Kresna.
Beberapa gorengan yang dibakar dan masing-masing segelas es teh langsung jadi
santapan. Alhamdulillah. Oh iya, dalam perjalanan turun dari bis tadi menuju
kantor, Nanda sempet nunjukin warung dengan menu babat gongso, ah sial, sampe
dengan tulisan ini diposting, aku masih kepikiran. “Ueanak Bro, wes tah
ngko ta’ fotokan.” (Uenak Bro, udah lah nanti aku fotoin). Sial!!
---
Malem
harinya, kita mau cari makan sambil keliling Solo. Tapi dari pas kita pulang
tadi, gerimis udah bikin basah tanah Solo. Nunggu agak reda lah biar gak
terlalu basah ntar di jalanan.
Begitu
dateng tadi, aku langsung mandi sekaligus Magrib, dan tebak apa yang kami
lakuin setelahnya? Kami sama-sama tertidur dengan kondisi tivi masih menyala,
pintu kamar kebuka, dan tidur dengan posisi malang melintang. Mungkin kami
terlalu lelah, hahaha.
Gerimis
yang ditunggu gak juga berenti, “Ayo lah Nda, budhal ae wis, gerimis banyu
ae kok, paling yo mek teles, hahaha.” (Ayolah Nda, berangkat aja, cuman
gerimis air ini, paling juga cuman basah, hahaha).
Dan
kami pun akhirnya berangkat, naik motor menyusuri jalanan kota Solo ditemani rintik
hujan, sempet ngelewatin Markobar yang lagi nge-hits, sayang gak sempet beli
buat nyobain. Entah mau di bawa ke mana aku malam ini sama Nanda buat makan,
muter aja pokoknya. Ternyata Nanda membawa aku ke Car free Night di daerah
Ngarsopuro.
Car
free Night malem itu relatif sepi, tak banyak pengunjung, begitu juga dengan
jumlah pedagang yang kata Nanda juga gak serame biasanya, Nanda juga otomatis
kehilangan incerannya, makhluk dengan pakaian mini yang berlenggak-lenggok
aduhai, hahahaha. Mungkin karena gerimis jadi Car free Night malam ini gak rame
kayak biasanya.
Di
sini kita jajan terlebih dahulu, bakso goreng dan bakso bakar. Sumpah ini
tampak romantis, kalau tidak pengen disebut nggilani, dua orang pria,
jajan bakso bakar, jalan bareng, ditambah dengan cuaca yang gerimis, wkwkwkwk.
Perjalanan
menyusuri Car free Night ini kami sudahi di lapak seorang Ibu penjual nasi
liwet khas Solo. Nanda memesan satu porsi dengan lauk kulit sapi, sedangkan aku
juga seporsi, tapi dengan lauk hati dan ampela. Nanda pesen segelas es teh
manis, sedangkan aku udah punya sebotol air mineral yang tadi kubeli pas beli
bakso bakar.
Owalah, jadi gini toh nasi liwet Solo itu,
kirain bakal sama dengan nasi liwet di Jawa Barat. Rasanya, not bad lah,
mungkin karena aku tadi ketinggian ekspektasinya tentang nasi liwet ini,
jadinya ya berasa biasa ajah, haha. Beres makan, kami kekenyangan. Nanda bahkan
gak sanggup buat berdiri, minta injury time, katanya. Tapi memang, sumpah,
porsinya banyak banget gak kira-kira.
Perut
udah mulai turun, udah bisa nerusin jalan lagi. Kami jalan ke parkiran motor.
Di sini lagi-lagi aku disuguhi pemandangan keren. Tukang parkir di sini
ngebekel kanebo. Jadi karena hujan, otomatis jok motor pada pada basah,
nah sama mas-mas parkirnya, jok kita itu dibersihin loh pake kanebo yang di
bawanya sebelum kita ambil motor. Yampun, ini keren, aku baru liat yang kayak
gini. Lanjutkan, Mas.
Kami
nerusin muter-muter ke sekitaran Solo, nelusurin rel Batara Kresna yang tadi
pagi kita jajal, muter ke alun-alun, ngeliat banyak pedagang yang jualan
tongseng gukguk di pinggir jalan. Trus kita gatau lagi ke mana lagi tujuan
kita. Tapi Nanda berubah, dia jadi banyak diem di jalan. Gak ngelucu lagi kayak
biasanya. Aku minta mampir bentar ke minimarket, mau beli minuman dingin buat
di kosan, kutawari Nanda barangkali mau titip apa, dia juga gak mau. Ada yang
gak beres sama ini bocah rupanya. Beres dari minimarket, Nanda ngarahin laju motornya
arah pulang, balik ke kosan. Dan tebak apa yang bikin Nanda berubah? Dia
kebelet boker ternyata sodara-sodara, huahahahaha. Dan ketawaku makin lebar
saat tahu posisinya yang lagi kebelet, ternyata kamar mandinya lagi ada yang
make, hahahahaha.
Sial,
gara-gara peristiwa kebelet tadi, main kita jadi kurang jauh, pulang kita juga
jadi kurang malam, haha.
Malemnya,
kita cuman nonton film di kosan, film Apocalypto. Nanda ternyata baru nonton
film ini, yampun padahal ini kan film udah ada dari jaman kita STM. Pas lagi
nonton, Nanda marah-marah tiap kali aku nyeritain kelanjutan dari suatu
kejadian di film itu, hahahaha.
---
Minggu,
10 April 2016, 6:00
Sepagi
ini kami udah nyampe aja di depan kantor Nanda. Tadi pagi ada drama, kebangun
udah jam setengah lima, Mandi, beres mandi, Shubuh, Nanda masih juga tidur,
yampun nih anak. Trus akhirnya dia bangun juga sambil bilang, “Iki untuk
pertama kalinya loh aku tangi sepagi iki, tenan.” (Ini untuk pertama
kalinya loh aku bangun sepagi ini, beneran). Sementara Nanda mandi, aku
beresin backpack karena nanti aku langsung cus ke Cirebon dari Prambanan.
Berangkat
pagi-pagi karena jadwal hari ini singkat, bis yang bawa aku balik ke Cirebon
berangkat jam 13.30 siang nanti, jadilah kami yang belum sempet sarapan ini
udah harus berangkat untuk memulai acara main hari ini. Eh, sebenernya perut
kami juga gak kosong-kosong banget sih, tadi sebelum berangkat kami dapet
rejeki, dapet dua potong cakue dari tetangga sebelah kamar Nanda, cakue hangat
yang baru saja digoreng, mayaan.
Kami
berangkat ke kantor Nanda terlebih dahulu buat nitipin motor kayak kemarin,
trus nantinya trip akan dimulai dengan ke Jogjakarta main ke Candi Prambanan
sekaligus ambil paket wisata Keraton Ratu Boko. Oh iya, hari ini kami tidak
lagi berdua seperti pasangan homo yang lagi bulan madu, personil hari ini
nambah satu, jadi tiga orang. Dialah Niar, yang belom juga nongol dari tadi.
Sambil
nungguin Niar, kami berdua ngobrol bareng security kantor sambil liat-liat
masyarakat Solo yang pagi itu menikmati Car free Day di jalanan depan kantor.
Mayoritas mereka pada olahraga, tapi gak sedikit juga yang cuman sekedar
jalan-jalan.
Tak
lama, Niar dateng pake motor, markirin motornya di basement kantor, dan
langsung gabung bareng kita. Niar ngulurin tangannya buat jabat tangan. Ini
adalah pertemuan keduaku dengan Niar, setelah sebelumnya kita pernah ketemu di
acara gathering kantor di Banjarnegara. Nah, pas di Banjarnegara ini, Niar
sempet digoda-godain loh sama kita-kita dari tim Cirebon, hahaha. Oh iya, Niar
ini juga kerja di satu perusahaan yang sama dengan aku dan Nanda.
Ikutnya
Niar kali ini berawal dari percakapan kita tadi malem sepulang dari Car free
Night. “Nda, Niar kok ra melok iki maeng? Gak mbok ajak a?” (Nda, Niar
kok gak ikut ini tadi? Gak kamu ajakin?”.
“Jarene
se sakjane pengen melu, tapi arek’e wedi ngganggu keintiman kita berdua jarene,
haha.” (Katanya sih dia pengen ikut sebenernya, cuman dianya takut ganggu
keintiman kita berdua katanya).
“Hahaha,
sial! Yo wis, sesuk jak’en ae arek’e cek rame.” (Hahaha, sial! Ya udah
besok ajakin aja dianya biar rame).
Begitulah,
jadinya hari ini kita bertiga, berangkat ke Jogjakarta.
[Niar]
Seperti
halnya aku udah ngenalin tentang Nanda, maka aku juga kudu ngenalin Niar di sini.
Hehehe. Dia udah wanti-wanti aku biar nulis yang baik-baiknya ajah katanya, ooh
tidak bisa, haha.
Pemilik
nama lengkap Kharismaniar ini adalah dara asli Solo, suaranya kecil kalo lagi
ngomong, persis seperti gambaran tokoh-tokoh putri Solo, hehe. Gak cuman
suaranya aja ding yang kecil, badannya juga kurus kecil gitu, kalopun didandani
pake baju biru-putih buat ikutan Ujian Nasional SMP kayaknya masih cocok kok,
hehe. Tapi plis, jangan bayangin kecilnya cuman segede anak kucing yah. Haha.
Gak
banyak yang aku tau tentang Niar kecuali dia adalah cemewew-nya Nanda,
aku udah coba berkali-kali cari tentang dia via Google, tapi nihil. Gak ada.
Misterius nih anak, tidak terdeteksi. Biasanya kalau kita search tentang
seseorang, paling gak kita dapet data diri atau ada lah data di Dinas
Pendidikan gitu, tapi Niar beda, datanya gak ada.
Kucoba
cari di media sosial. Instagram nihil, Twitter juga gak ada. Aku sempet
berfikir jangan-jangan akun sosmed-nya menggunakan nama-nama alay, tidak
menggunakan nama aslinya. Haha. Satu-satunya prestasi pencarianku tentang anak
ini adalah akun Facebook-nya dan juga sederetan angka nomor resi pengiriman
barang dari sebuah online shop di Batam yang dikirim atas nama Kharismaniar tujuan
Solo.
Dari
akun Facebooknya, tidak ada yang bisa aku ambil informasinya. Posting
terakhirnya bahkan juga udah beberapa tahun yang lalu. Haduuh. Aku sempet
konfirmasi ke Niar tentang susahnya cari data tentang dia. “Aku ora eksis og
Mas. Nek tentang aku takono Nanda ngko lak dikandani, sing elek-elek tok tapi
pastine, hehe.” (Aku gak eksis kok Mas, Kalau mau tau tentang aku, tanya
aja ke Nanda ntar juga dikasih tau, yang jelek-jelek doank tapi pastinya,
hehe).
So,
aku gak dapet apa-apa buat ngejelasin tentang data diri Niar, bahkan tanggal
lahir aja aku gak punya datanya. Sebenernya bisa aja sih aku nanya ke bagian
HRD kantor buat nanyain tentang Niar, tapi sebegitu pentingnya kah? Hahaha.
Yang jelas, dua kali ketemu Niar, dia adalah pemilik rambut yang sedikit
bergelombang dengan panjang se-lengan yang biasa dibiarkan tergerai nutupin
pundaknya. Penyuka bakso goreng dan pecinta sinetron Anak Jalanan. Nah,
kecintaannya ke sinetron Anak Jalanan ini akhirnya nular juga ke Nanda, hahaha.
Dari
Niar aku banyak denger kata-kata dalam bahasa Jawa yang selama ini udah jarang
banget aku denger, jadi berasa lucu dengernya, seperti kata “gur, tekan,
kowe, bar, kae, mung, nganti, wae” dan masih banyak lagi yang lain. Berasa
flashback ke beberapa tahun silam saat masih di STM dengan teman beragam yang
dateng dari segala penjuru Jawa, bahkan Indonesia. Oh iya, satu lagi, selama
interaksi dengan Niar, belum pernah dia memanggil aku atau Nanda dengan kata
“sampean”, dia lebih lebih sering manggil pake kata “kowe” atau “mu” kalau buat
akhiran. Malahan aku yang lebih sering manggil dia dengan “sampean”. Atau
memang tipikal Solo seperti ini yah?
Sekilas,
dari yang aku lihat kemarin, Niar orangnya lembut, khas Solo banget lah
anaknya, mandiri, gak gampang rewel, juga gampang bergaul. (Niar, jangan lupa
transfer yah, ini udah aku tulis yang baik-baiknya doank loh, hahaha).
---
Kami
bertiga udah di dalam bis medium dalam perjalanan ke terminal Tirtonadi.
Sebelumnya Nanda bilang kalo kata Niar, nunggu bis arah Jogja-nya gak perlu ke
terminal, bisa di pinggir jalan. Tapi menurut yang aku tau dari blog-blog
bismania, bis Solo-Jogja yang bisa diberentiin dari luar terminal hanyalah bis
lokal seperti Aneka Jaya dan Suharno. Nah, kalau mau naik bis Surabayaan, harus
dari terminal. Karena dua bis tersebut udah punya perjanjian, jatah penumpang
jalanan hanya untuk bis lokal Solo-Jogja, sedangkan bis Surabaya-Solo-Jogja
hanya bisa naikin penumpang di terminal. Jadilah kita pagi ini berangkat ke
terminal terlebih dahulu. <bersambung>
No comments:
Post a Comment