...
... Nilai plus dari armada ini yang pertama kali dirasa begitu masuk kabin
adalah suhu udara yang sangat dingin. Sudah jarang sekali armada bis malam bisa
sedingin ini, walapun louver AC di atas masing-masing seat penumpang sudah
dalam keadaan tertutup, tapi hembusan AC di dalam kabin begitu dingin. Terakhir
kali aku merasakan armada sedingin ini adalah saat naik Bejeu Jepara-Denpasar.
Aku
menuju seat-ku di 1D, ternyata ada mas-mas yang duduk di sana, seat 1C di
sebelahnya kosong. Ternyata mas-mas itu sebenarnya adalah penghuni seat 1C,
tapi karena 1D kosong dari Bandung, maka mas itu duduk di seat 1D biar deket
kaca. Mas nya bermakhsud bergerak untuk pindah ke seatnya yang seharusnya, 1C,
tapi aku bilang kalau emang mau di deket kaca, monggo aja, aku di pinggir
lorong juga gak masalah, wong sama-sama hotseat ini. Mas nya tersenyum, dia
memilih tawaranku untuk duduk di pinggir kaca dan kembali meneruskan tidurnya.
Armada
garapan karoseri Laksana ini tak juga berangkat, ternyata ada sedikit problem.
Sang driver dan kru tidak tahu jalan arah Jawa Tengah dari kantor Agen Kedawung
karena biasanya armada ini berbelok masuk tol Plumbon menuju Kanci. Namun kali
ini terpaksa tidak masuk tol dan tetap lurus via by pass karena harus menaikkan
penumpang di Agen Kedawung, aku. Wuih, berarti hampir tidak ada penumpang
tujuan Solo selama ini dari agen Kedawung selain aku, sampai-sampai driver buta
arah.
Mas
agen Kedawung mencoba mengarahkan driver dengan member petunjuk harus berbelok
ke mana dan di mana. Mendengar itu, aku buka pintu sekat kabin dan ikut
nimbrung di obrolan mereka, melalui logatnya, kutebak keduanya adalah orang
Sunda. Kutawarkan menjadi pemandu bagi sang Driver untuk bisa mencapai jalan
yang driver kenali menuju Jawa Tengah. Kru dan Bapak Driver pun menyiratkan
rasa gembira dan mempersilahkanku untuk duduk di seat CD, seat sebelah driver
yang konon biasanya menjadi incaran para bismania selain hotseat tentunya.
Melalui
seat CD, aku memandu driver untuk mengarahkan bis ini menuju arah Jawa Tengah,
paling tidak sampai dengan Rumah Makan Aroma yang menjadi pusat checking Pahala
Kencana di daerah Kanci. Selama duduk di samping driver ini, aku mendapat
banyak cerita dari Bapak Driver dan Bapak Kru tentang suka duka hidup di
jalanan, melaksanakan tugas mencari nafkah untuk keluarga, tapi harus jauh
dengan mereka. Betapa memang hidup tidak mudah untuk dijalani, namun ya
bagaimanapun juga harus tetap dijalani karena merupakan sebuah bentuk tanggung
jawab seorang kepala keluarga untuk menjadi tulang punggung kehidupan.
Cukup
banyak cerita yang mengalir dari bibir kedua bapak yang baru kukenal malam ini,
cerita-cerita tentang kehidupan yang selama ini tidak pernah aku dapatkan di
bangku sekolah maupun kuliah. Inilah sejatinya travelling, bisa mengambil hikmah
dari apapun, dari siapapun, karena semesta telah memberikan guru kehidupan yang
bertebaran di mana-mana.
Bis
sudah sampai di Rumah Makan Aroma, bapak driver dan kru mengucapkan terima
kasih dan mempersilahkanku untuk kembali ke kabin, duduk di seatku yang
seharusnya karena petugas checker akan masuk ke dalam bis untuk melakukan
kontrol. Kubalas terima kasih kru dengan sebuah senyuman. Sempat kulirik juga
space di sebelah kiri driver sebelum aku melangkah menuju kabin penumpang, ada
hand brake di sana, oke fix, bis ini bermesin Hino RG.
Pahala
Kencana terus melaju bergerak meninggalkan tatar Jawa Barat menuju bumi Jawa
Tengah, sempat berhenti lagi di agen Tegal karena harus menaikkan penumpang.
Armada ini dipacu dengan kecepatan standar bis malam, tidak pelan, juga tidak
ngebut. Sesekali driver mencoba menaikkan kecepatan, tapi sepertinya body All
New Legacy ini sudah bukan barang baru lagi, bunyi “gemlodakan” badan bis
berbanding lurus ketika armada dipacu lebih cepat atau saat melintasi kontur aspal
yang tidak rata.
Tapi
jujur, interior buatan laksana ini keren, louver AC yang menyatu dengan lampu
di masing-masing seat berbentuk sangat unik, bener-bener cakep, belum pernah
aku temukan sebelumnya, keren pokoknya. Sayang aku gak ambil gambarnya. Jarak
seat-ku dengan sekat juga lega, memungkinkan kaki untuk berselonjor lurus,
namun tidak selega armada Bejeu yang waktu itu pernah aku naiki, tapi paling
tidak, space di mana kaki penumpang bisa selonjor lurus horizontal adalah hal
yang sangat menyenangkan, hehe.
AC
bertiup semakin dingin, kuambil selimut di sandaran seat, kuhamparkan menutupi
badan, kunaikkan leg rest, merebahkan tubuh lelah setelah seharian ini bekerja
di seat buatan Aldilla yang begitu nyaman kurasakan, maka nikmat Tuhan yang
mana lagi yang bisa didustakan?
Saatnya
menonton pertunjukan pantura yang sebenarnya, tapi jam segini tentu tidak
banyak bis malam yang lewat, hampir tidak ada lawan sepadan, rata-rata mereka
jam segini sudah berada di kawasan yang lebih Timur, jam keberangkatan
kebanyakan bis malam memang jauh lebih awal dari jam keberangkatan Pahala
Kencana Solo ini.
---
Pahala
Kencana masuk ke Rumah Makan Sendang Wungu di daerah Gringsing, Wleri. Rumah
makan di kawasan Alas Roban ini memang banyak menjadi “jujukan” bis malam baik
arah Barat maupun arah sebaliknya. Entah jam berapa saat itu. Tidak ada service
makan di rumah makan ini, karena Pahala Kencana ini sudah melakukan service
makan sebelumnya di daerah Sumedang. Berhenti hanya untuk istirahat, sekaligus
memberi kesempatan penumpang barangkali ada yang ingin ke kamar mandi, membeli
camilan, atau hanya sekedar meregangkan badan.
Tampak
ada Pahala Kencana livery ombak biru putih dengan trayek Banyuwangi-Jakarta
berbaju garapan Adi Putro yang sudah terpakir lebih dahulu. Armada ini
sepertinya kesiangan karena jam segini baru nyampe Sendang Wungu. Bis yang
kutumpangi diparkir persis di sebalah kirinya. Tak berselang lama, masuk juga
armada Rajawali incaranku di plan trip yang pertama, Rajawali dengan trayek
Bandung-Semarang-Solo yang juga sama menggunakan baju All New Legacy garapan
Laksana, menang di mesin karena menggunakan Hino RK8 yang lebih mumpuni sebagai
dapur pacunya.
Tidak
lama berhenti di Sendang Wungu, setelah armada Banyuwangi-Jakarta
diberangkatkan, armada Solo ini menyusul berangkat juga. Kendali bis diserahkan
ke driver dua, menggantikan driver satu yang kini beristirahat di singgasananya
di bagian belakang bis. Pembawaan driver dua ini lebih berani kalau
dibandingkan dengan driver pertama dalam melibas pantura.
---
Sabtu,
09/04/2016, 6:20 - Terminal Tirtonadi, Solo.
Alhamdulillah,
mendarat juga di Solo. Untuk pertama kalinya aku singgah di Tirtonadi. Besar
juga terminalnya, lumayan bisa bikin kesasar. Kesan pertama, terminal ini
sangat teratur dan bersih, begitu ramah kepada pengunjung karena papan
informasi bertebaran di mana-mana, termasuk pengunjung yang baru pertama kali
menginjakkan kaki di sini, seperti aku.
Sudah
sejak masuk Boyolali tadi aku coba menghubungi Nanda, tapi emang dasar Nanda,
pasti masih ngebo dia jam segini. WhatsApp gak direspon, telpon pun gak
diangkat. Sampai aku masuk terminal Tirtonadi pun belum ada kabar dari Nanda.
Show must go on.
Tujuanku
yang pertama adalah toilet terminal. Bersih, itulah kesan pertama. Ah mending
sekalian bebersih dan mandi aja di sini, itung-itung sambil nunggu Nanda,
karena rencana awalnya aku mandi di kosan dia. Tapi mending sekalian aja mandi
di terminal, toh kamar mandinya juga bersih ini. Paling tidak, kalau Nanda gak
juga sadar dari ngebonya, aku udah mandi dan bisa eksplor Solo sendirian
tanpa harus nungguin Nanda, atau mandi di kosannya.
Sampai
aku beres mandipun, gak ada kabar dari Nanda. Yampun anak ini, apa abis nenggak
obat tidur se-drum kali yah, hahaha. Kulanjutkan dengan eksplor keadaan
terminal. Terminal ini bener-bener luas dengan dua pintu keberangkatan, arah
barat dan arah timur.
Cukup
dengan eksplor situasi Tirtonadi, tepat saat itu juga Meghan Trainor
menyanyikan lagu No yang ku-set sebagai ringtone handphone. Dari Nanda, hmm,
akhirnya bangun juga dia. Setelah haha-hehe, dia bilang mau jemput aku di depan
hotel Tirtonadi di deket terminal, oke.
Kutanyakan
pada petugas Dinas Perhubungan yang pagi itu bertugas tentang letak hotel
Tirtonadi, petugas itu memberi penjelasan yang cukup jelas. Sip, masuk ke terminal,
bayar peron, masuk melalui pintu keberangkatan timur, jalan kaki menuju lokasi
penjemputan, hotel Tirtonadi.
---
Aku
udah berada di boncengan motor bareng Nanda, “sliyat-sliyut” di antara
kendaraan yang sepagi itu sudah memadati ruas jalanan Kota Solo.
“Nda,
wes tekan Solo, aku sik tas ngeh ono sing lali nggowo.” (Nda, udah nyampe
di Solo aku bareng ngeh kalo ada yang lupa dibawa).
“Opo?
Ojo-ojo tenan ra nggowo kampes karo sikat gigi, awas kowe.” (Apa?
Jangan-jangan beneran gak bawa celana dalem sama sikat gigi, awas kamu).
“Udu’
Nda, aku tas iling ra nggowo tongsis.” (Bukan Nda, aku baru inget kalo gak
bawa tongsis)
Dan
kami berdua pun saling tertawa. Cuaca Solo pagi itu cukup cerah, sepertinya
semesta memihak perjalanan kali ini. Tak lama, sampai juga di kosan Nanda,
kamar kost Nanda ada di lantai dua.
Pintu
kosan dibuka, dan aku langsung “melongo”. Keren, yakin ini keren, ini
bener-bener kosan yang “laki” banget. Ya, kamar kost Nanda benar-benar “laki”,
aku harus menyebutnya dengan sebutan “laki” sebagai subtitusi daripada aku
harus mengatakan kamarnya ekstra berantakan, hahaha. Sumpah, kamar kostku dalam
keadaan paling berantakan sekalipun, rasa-rasanya belum bisa menandingi ini
semua, hahaha, piiss Nda.
“Nda,
Ibukmu tau rene?” (Nda, Ibumu pernah maen ke sini?).
“Yo
sering lah, bolak-balik.” (Ya sering lah, beberapa kali malahan).
“Ha?
Terus yopo jare Ibukmu?” (Hah? Terus gimana pendapat Ibukmu?),
“Biasa
wae, wis ngerti modele anake koyok ngene, hahaha.” (Biasa aja, udah nyadari
tipikal anaknya seperti ini, hahaha).
“Hahaha.”
Kuletakkan
backpack di lantai di samping kasur tanpa dipan, merebahkan badan, meluruskan
punggung barang sejenak, eh lha kok Nanda ikutan rebahan.
“Loh,
lapo malah melok turu, adus kono lho, age!” (Loh, ngapain malah ikutan
tidur, cepet mandi sana loh, ayo!).
Nanda
malah “ngguya-ngguyu” dan tetap merebahkan badanya di kasur lantai,
masih ngantuk katanya. Memang sih kami tidak bener-bener tidur, cuman sekedar
tiduran, sambil ngobrol ngalor-ngidul melepaskan kerinduan, maklum ini adalah
pertemuan pertama kami sejak lulus sekolah delapan tahun yang lalu.
Oh
iya, ada sebuah cerita dari Nanda tentang tetangga kos di sebelah kamarnya,
sumpah cerita ini bikin ketawa ngakak. Jadi gini, sebelah kamar Nanda adalah
kamar yang dihuni oleh pasangan suami istri dengan anaknya yang masih kecil.
Suatu ketika sang ayah membelikan ikan kecil di akuarium untuk anaknya. Sang
anak yang ngerasa dapet peliharaan dan mainan baru, langsung tuh main obok-obok
akuarium, beres obok-obok, ternyata sang anak mendapati bahwa tangannya bau
amis. Ngerasa kalo sumber bau amis itu adalah ikan peliharaan barunya, tau apa
yang dia lakukan? Sang anak menuangkan cairan Molto ke dalam akuarium, biar gak
amis, fikirnya.
Dan
udah bisa ketebak, ikannya langsung mati menghadap sang Kuasa. Hahaha. Si anak
nangis tau ikannya mati, ngerengek ke ayahnya minta dibeliin ikan lagi. Oke,
sang ayah menuruti kemauan anaknya dengan membelikan lagi seekor ikan sebagai
ganti ikan yang sebelumnya. dan si kecil pun kembali berulah, hahaha.
Main
ikan lagi, obok-obok akuarium lagi, dan tebak apa yang kali ini diperbuat? Si
ikan kini berada dalam genggamannya, dibaluri sekujur tubuh ikan dengan balsem,
tidak tanggung-tanggung, merk Geliga, dan segera dikembalikan lagi ke akuarium.
Mati donk? Yayalah,, hahaha. Tau gak, apa motivasi sang adek kecil ngebalurin
tubuh ikan dengan balsem? Ternyata, menurut pengakuannya, dia kasihan dengan
ikan yang ada di air, takut ikannya bakal masuk angin karena kelamaan di air,
dia pun ambil balsem dan memulai aksi kriminalnya, hahahaha. Yampuuun, sumpah
adeknya pinter banget.
Si
Anak kembali ngerengek ke ayahnya minta dibelikan ikan lagi, tapi sepertinya
ayahnya udah kapok, gak mau lagi ngebeliin ikan buat si adek. Hahaha.
Hidupmu
selalu dikelilingi dengan orang kocak, Nda.
Satu
lagi, tadi begitu kita masuk ke kosannya Nanda, dia langsung pamer sesuatu,
dompet.
“Piye
jal, dompetku keren po ra? Keren bianget to?” (Gimana, dompetku keren gak?
Keren banget kan?).
Ya
ampun, sumpah ngakak, ngakak pake banget. Dompet yang menurutnya keren itu
adalah dompet emak-emak yang biasanya didapat dari toko emas itu loh,,
hahahaha. Sumpah kelakuanmu, Nda,, Hahaha.
“Saben
nang warung, terus arep mbayar, mesti bakule langsung ngguyu. Owalah Mas,,
Mas,, ngganteng-ngganteng kok dompet’e koyo ngunu.” (Tiap ke warung, terus
pas mau bayar, penjualnya pasti langsung ketawa. Owalah Mas,, Mas,,
ganteng-ganteng kok dompetnya gitu).
Itulah,
selalu ada yang konyol sama Nanda. Hidupnya selalu aja ada yang nyeleneh.
Hahaha. Keep gila, Nda.
---
Kami
berdua sudah siap, tujuan hari ini adalah Wonogiri. Ya trip ke Wonogiri ini
harus terealisasi karena aku pengen banget nyobain railbus Batara Kresna,
sebuah bis/kereta wisata yang memiliki trayek Purwosari-Solo
Kota-Sukoharjo-Pasar Nguter-Wonogiri. Dinamakan railbus karena gerbong yang
digunakan oleh kereta wisata ini tidak sepanjang gerbong kereta pada umumnya,
hanya mampu menampung 24 penumpang duduk di tiap gerbongnya, tapi juga
disiapkan holder atau pegangan tangan di sepanjang lorong gerbongnya. Juga
karena kereta ini berjalan di jalan raya beriringan dengan kendaraan lainnya.
Kami
harus menuju stasiun Purwosari terlebih dahulu buat beli tiket. Stasiun
Purwosari terletak di Jalan Brigjen Slamet Riyadi di kawasan Laweyan,
berhadap-hadapan dengan kantor Nanda. Oh iya, di sepanjang jalan Slamet Riyadi
ini ada city walk gitu di pinggir jalannya, bagus banget pokoknya. Karena
stasiun Purwosari ini di depan kantor Nanda persis, jadi gampang bagi kami
untuk nitip motor di kantor, kemudian jalan kaki menuju stasiun. Menurut pengakuan
Nanda, ini adalah pertama kalinya dia masuk stasiun Purwosari. Yampun padahal
stasiun ini di depan kantornya pake banget. Haha.
Suasana
stasiun pagi itu cukup ramai, kami segera menuju loket pembelian tiket Batara
Kresna. Mbak penjaga loketnya cantik banget ternyata, pendapatku tentang mbak
penjaga loket ini ternyata diamini juga oleh Nanda, haha kita se-type berarti.
Mbaknya sempat mengira kami akan membeli tiket Prameks tujuan Jogja, karena
penampilan kita mirip mahasiswa kata Nanda, hahaha.
Dua
tiket Batara Kresna yang dibarter dengan 4000 rupiah per lembarnya sudah di
tangan. Masih ada setengah jam lagi sampai dengan jam keberangkatan. Oke, cari
makan dulu. Beberapa warung makan di sekitaran kantor Nanda yang biasa menjadi
langganannya masih tutup sesiang itu. Tapi ada satu warung bercat hijau di
sebelah stasiun yang sudah buka, oke masuk warung ini aja.
Aku
pesan nasi rawon, maklum di Cirebon gak ada orang jualan rawon. Sedangkan Nanda
lebih memilih nasi gudeg dengan kepala ayam. Plus dua gelas es teh untuk
masing-masing kami berdua. Sarapan pagi beres, rasa kuah rawonnya cenderung
manis kalau kata aku, tapi apalah yang harus dipikirin bagi kami pemilik perut
serupa goni ini, makanan apa aja masuk kalau lagi lapar begini, hahaha.
Balik
lagi ke arah stasiun dan langsung boarding karena railbus sudah terparkir di
jalur satu. Ternyata keretanya keren banget, Nanda tampak antusias, ini bakal
menjadi pengalaman perdana kami menaiki Batara Kresna. Sempet narsis-narsis
terlebih dahulu di depan Batara Kresna. Naik ke gerbongnya, kami pilih gerbong
dua dari ketiga gerbong yang dijalankan railbus ini. Suasana dalam gerbong
tidak begitu ramai, kami masih bisa mendapatkan tempat duduk kosong dekat
dengan pintu, cozy.
Tepat
jam sepuluh, peluit panjang dibunyikan dan plakat hijau telah diangkat oleh
petugas stasiun Purwosari sebagai tanda izin jalan, dibalas dengan lenguhan
keras klakson dari lokomotif railbus ini sebagai jawaban dan semboyan 35 dari
masinis, Batara Kresna siap dijalankan. Tapi sepertinya ada yang salah, kita
salah memilih tempat duduk, dengan posisi tempat duduk kami, seakan Batara
Kresna berjalan mundur, haha.
Aku
coba berjalan ke gerbong yang lain barangkali ada tempat duduk “maju” yang
masih kosong untuk kami berdua, ternyata ada banyak, cuman posisinya tidak
senyaman tempat duduk yang udah kita pilih di awal, dekat dengan pintu.
Kutawarkan ke Nanda untuk pindah seat, barangkali nanti pusing atau apa kalau
jalan mundur, Nanda menolak dengan sok iyes, haha, padahal belakangan dia
akhirnya mengakui kalau penolakannya hanyalah bentuk gengsi dan jaga image,
sebab sepanjang perjalanan, dia mulai pusing-pusing dan mengubah-ubah posisi
duduknya, hahaha. <bersambung>
No comments:
Post a Comment