Sunday, April 17, 2016

tour de Central Java (2/5)


... ... Nilai plus dari armada ini yang pertama kali dirasa begitu masuk kabin adalah suhu udara yang sangat dingin. Sudah jarang sekali armada bis malam bisa sedingin ini, walapun louver AC di atas masing-masing seat penumpang sudah dalam keadaan tertutup, tapi hembusan AC di dalam kabin begitu dingin. Terakhir kali aku merasakan armada sedingin ini adalah saat naik Bejeu Jepara-Denpasar.

Aku menuju seat-ku di 1D, ternyata ada mas-mas yang duduk di sana, seat 1C di sebelahnya kosong. Ternyata mas-mas itu sebenarnya adalah penghuni seat 1C, tapi karena 1D kosong dari Bandung, maka mas itu duduk di seat 1D biar deket kaca. Mas nya bermakhsud bergerak untuk pindah ke seatnya yang seharusnya, 1C, tapi aku bilang kalau emang mau di deket kaca, monggo aja, aku di pinggir lorong juga gak masalah, wong sama-sama hotseat ini. Mas nya tersenyum, dia memilih tawaranku untuk duduk di pinggir kaca dan kembali meneruskan tidurnya.

Armada garapan karoseri Laksana ini tak juga berangkat, ternyata ada sedikit problem. Sang driver dan kru tidak tahu jalan arah Jawa Tengah dari kantor Agen Kedawung karena biasanya armada ini berbelok masuk tol Plumbon menuju Kanci. Namun kali ini terpaksa tidak masuk tol dan tetap lurus via by pass karena harus menaikkan penumpang di Agen Kedawung, aku. Wuih, berarti hampir tidak ada penumpang tujuan Solo selama ini dari agen Kedawung selain aku, sampai-sampai driver buta arah.

Mas agen Kedawung mencoba mengarahkan driver dengan member petunjuk harus berbelok ke mana dan di mana. Mendengar itu, aku buka pintu sekat kabin dan ikut nimbrung di obrolan mereka, melalui logatnya, kutebak keduanya adalah orang Sunda. Kutawarkan menjadi pemandu bagi sang Driver untuk bisa mencapai jalan yang driver kenali menuju Jawa Tengah. Kru dan Bapak Driver pun menyiratkan rasa gembira dan mempersilahkanku untuk duduk di seat CD, seat sebelah driver yang konon biasanya menjadi incaran para bismania selain hotseat tentunya.

Melalui seat CD, aku memandu driver untuk mengarahkan bis ini menuju arah Jawa Tengah, paling tidak sampai dengan Rumah Makan Aroma yang menjadi pusat checking Pahala Kencana di daerah Kanci. Selama duduk di samping driver ini, aku mendapat banyak cerita dari Bapak Driver dan Bapak Kru tentang suka duka hidup di jalanan, melaksanakan tugas mencari nafkah untuk keluarga, tapi harus jauh dengan mereka. Betapa memang hidup tidak mudah untuk dijalani, namun ya bagaimanapun juga harus tetap dijalani karena merupakan sebuah bentuk tanggung jawab seorang kepala keluarga untuk menjadi tulang punggung kehidupan.

Cukup banyak cerita yang mengalir dari bibir kedua bapak yang baru kukenal malam ini, cerita-cerita tentang kehidupan yang selama ini tidak pernah aku dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah. Inilah sejatinya travelling, bisa mengambil hikmah dari apapun, dari siapapun, karena semesta telah memberikan guru kehidupan yang bertebaran di mana-mana.

Bis sudah sampai di Rumah Makan Aroma, bapak driver dan kru mengucapkan terima kasih dan mempersilahkanku untuk kembali ke kabin, duduk di seatku yang seharusnya karena petugas checker akan masuk ke dalam bis untuk melakukan kontrol. Kubalas terima kasih kru dengan sebuah senyuman. Sempat kulirik juga space di sebelah kiri driver sebelum aku melangkah menuju kabin penumpang, ada hand brake di sana, oke fix, bis ini bermesin Hino RG.

Pahala Kencana terus melaju bergerak meninggalkan tatar Jawa Barat menuju bumi Jawa Tengah, sempat berhenti lagi di agen Tegal karena harus menaikkan penumpang. Armada ini dipacu dengan kecepatan standar bis malam, tidak pelan, juga tidak ngebut. Sesekali driver mencoba menaikkan kecepatan, tapi sepertinya body All New Legacy ini sudah bukan barang baru lagi, bunyi “gemlodakan” badan bis berbanding lurus ketika armada dipacu lebih cepat atau saat melintasi kontur aspal yang tidak rata.

Tapi jujur, interior buatan laksana ini keren, louver AC yang menyatu dengan lampu di masing-masing seat berbentuk sangat unik, bener-bener cakep, belum pernah aku temukan sebelumnya, keren pokoknya. Sayang aku gak ambil gambarnya. Jarak seat-ku dengan sekat juga lega, memungkinkan kaki untuk berselonjor lurus, namun tidak selega armada Bejeu yang waktu itu pernah aku naiki, tapi paling tidak, space di mana kaki penumpang bisa selonjor lurus horizontal adalah hal yang sangat menyenangkan, hehe.


AC bertiup semakin dingin, kuambil selimut di sandaran seat, kuhamparkan menutupi badan, kunaikkan leg rest, merebahkan tubuh lelah setelah seharian ini bekerja di seat buatan Aldilla yang begitu nyaman kurasakan, maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang bisa didustakan?

Saatnya menonton pertunjukan pantura yang sebenarnya, tapi jam segini tentu tidak banyak bis malam yang lewat, hampir tidak ada lawan sepadan, rata-rata mereka jam segini sudah berada di kawasan yang lebih Timur, jam keberangkatan kebanyakan bis malam memang jauh lebih awal dari jam keberangkatan Pahala Kencana Solo ini.

---

Pahala Kencana masuk ke Rumah Makan Sendang Wungu di daerah Gringsing, Wleri. Rumah makan di kawasan Alas Roban ini memang banyak menjadi “jujukan” bis malam baik arah Barat maupun arah sebaliknya. Entah jam berapa saat itu. Tidak ada service makan di rumah makan ini, karena Pahala Kencana ini sudah melakukan service makan sebelumnya di daerah Sumedang. Berhenti hanya untuk istirahat, sekaligus memberi kesempatan penumpang barangkali ada yang ingin ke kamar mandi, membeli camilan, atau hanya sekedar meregangkan badan.

Tampak ada Pahala Kencana livery ombak biru putih dengan trayek Banyuwangi-Jakarta berbaju garapan Adi Putro yang sudah terpakir lebih dahulu. Armada ini sepertinya kesiangan karena jam segini baru nyampe Sendang Wungu. Bis yang kutumpangi diparkir persis di sebalah kirinya. Tak berselang lama, masuk juga armada Rajawali incaranku di plan trip yang pertama, Rajawali dengan trayek Bandung-Semarang-Solo yang juga sama menggunakan baju All New Legacy garapan Laksana, menang di mesin karena menggunakan Hino RK8 yang lebih mumpuni sebagai dapur pacunya.


Tidak lama berhenti di Sendang Wungu, setelah armada Banyuwangi-Jakarta diberangkatkan, armada Solo ini menyusul berangkat juga. Kendali bis diserahkan ke driver dua, menggantikan driver satu yang kini beristirahat di singgasananya di bagian belakang bis. Pembawaan driver dua ini lebih berani kalau dibandingkan dengan driver pertama dalam melibas pantura.

---

Sabtu, 09/04/2016, 6:20 - Terminal Tirtonadi, Solo.

Alhamdulillah, mendarat juga di Solo. Untuk pertama kalinya aku singgah di Tirtonadi. Besar juga terminalnya, lumayan bisa bikin kesasar. Kesan pertama, terminal ini sangat teratur dan bersih, begitu ramah kepada pengunjung karena papan informasi bertebaran di mana-mana, termasuk pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, seperti aku.

 
Sudah sejak masuk Boyolali tadi aku coba menghubungi Nanda, tapi emang dasar Nanda, pasti masih ngebo dia jam segini. WhatsApp gak direspon, telpon pun gak diangkat. Sampai aku masuk terminal Tirtonadi pun belum ada kabar dari Nanda. Show must go on.

Tujuanku yang pertama adalah toilet terminal. Bersih, itulah kesan pertama. Ah mending sekalian bebersih dan mandi aja di sini, itung-itung sambil nunggu Nanda, karena rencana awalnya aku mandi di kosan dia. Tapi mending sekalian aja mandi di terminal, toh kamar mandinya juga bersih ini. Paling tidak, kalau Nanda gak juga sadar dari ngebonya, aku udah mandi dan bisa eksplor Solo sendirian tanpa harus nungguin Nanda, atau mandi di kosannya.

Sampai aku beres mandipun, gak ada kabar dari Nanda. Yampun anak ini, apa abis nenggak obat tidur se-drum kali yah, hahaha. Kulanjutkan dengan eksplor keadaan terminal. Terminal ini bener-bener luas dengan dua pintu keberangkatan, arah barat dan arah timur.

Cukup dengan eksplor situasi Tirtonadi, tepat saat itu juga Meghan Trainor menyanyikan lagu No yang ku-set sebagai ringtone handphone. Dari Nanda, hmm, akhirnya bangun juga dia. Setelah haha-hehe, dia bilang mau jemput aku di depan hotel Tirtonadi di deket terminal, oke.

Kutanyakan pada petugas Dinas Perhubungan yang pagi itu bertugas tentang letak hotel Tirtonadi, petugas itu memberi penjelasan yang cukup jelas. Sip, masuk ke terminal, bayar peron, masuk melalui pintu keberangkatan timur, jalan kaki menuju lokasi penjemputan, hotel Tirtonadi.


---

Aku udah berada di boncengan motor bareng Nanda, “sliyat-sliyut” di antara kendaraan yang sepagi itu sudah memadati ruas jalanan Kota Solo.

Nda, wes tekan Solo, aku sik tas ngeh ono sing lali nggowo.” (Nda, udah nyampe di Solo aku bareng ngeh kalo ada yang lupa dibawa).
Opo? Ojo-ojo tenan ra nggowo kampes karo sikat gigi, awas kowe.” (Apa? Jangan-jangan beneran gak bawa celana dalem sama sikat gigi, awas kamu).
Udu’ Nda, aku tas iling ra nggowo tongsis.” (Bukan Nda, aku baru inget kalo gak bawa tongsis)

Dan kami berdua pun saling tertawa. Cuaca Solo pagi itu cukup cerah, sepertinya semesta memihak perjalanan kali ini. Tak lama, sampai juga di kosan Nanda, kamar kost Nanda ada di lantai dua.

Pintu kosan dibuka, dan aku langsung “melongo”. Keren, yakin ini keren, ini bener-bener kosan yang “laki” banget. Ya, kamar kost Nanda benar-benar “laki”, aku harus menyebutnya dengan sebutan “laki” sebagai subtitusi daripada aku harus mengatakan kamarnya ekstra berantakan, hahaha. Sumpah, kamar kostku dalam keadaan paling berantakan sekalipun, rasa-rasanya belum bisa menandingi ini semua, hahaha, piiss Nda.

Nda, Ibukmu tau rene?” (Nda, Ibumu pernah maen ke sini?).
Yo sering lah, bolak-balik.” (Ya sering lah, beberapa kali malahan).
Ha? Terus yopo jare Ibukmu?” (Hah? Terus gimana pendapat Ibukmu?),
Biasa wae, wis ngerti modele anake koyok ngene, hahaha.” (Biasa aja, udah nyadari tipikal anaknya seperti ini, hahaha).
“Hahaha.”

Kuletakkan backpack di lantai di samping kasur tanpa dipan, merebahkan badan, meluruskan punggung barang sejenak, eh lha kok Nanda ikutan rebahan.

Loh, lapo malah melok turu, adus kono lho, age!” (Loh, ngapain malah ikutan tidur, cepet mandi sana loh, ayo!).

Nanda malah “ngguya-ngguyu” dan tetap merebahkan badanya di kasur lantai, masih ngantuk katanya. Memang sih kami tidak bener-bener tidur, cuman sekedar tiduran, sambil ngobrol ngalor-ngidul melepaskan kerinduan, maklum ini adalah pertemuan pertama kami sejak lulus sekolah delapan tahun yang lalu.

Oh iya, ada sebuah cerita dari Nanda tentang tetangga kos di sebelah kamarnya, sumpah cerita ini bikin ketawa ngakak. Jadi gini, sebelah kamar Nanda adalah kamar yang dihuni oleh pasangan suami istri dengan anaknya yang masih kecil. Suatu ketika sang ayah membelikan ikan kecil di akuarium untuk anaknya. Sang anak yang ngerasa dapet peliharaan dan mainan baru, langsung tuh main obok-obok akuarium, beres obok-obok, ternyata sang anak mendapati bahwa tangannya bau amis. Ngerasa kalo sumber bau amis itu adalah ikan peliharaan barunya, tau apa yang dia lakukan? Sang anak menuangkan cairan Molto ke dalam akuarium, biar gak amis, fikirnya.

Dan udah bisa ketebak, ikannya langsung mati menghadap sang Kuasa. Hahaha. Si anak nangis tau ikannya mati, ngerengek ke ayahnya minta dibeliin ikan lagi. Oke, sang ayah menuruti kemauan anaknya dengan membelikan lagi seekor ikan sebagai ganti ikan yang sebelumnya. dan si kecil pun kembali berulah, hahaha.

Main ikan lagi, obok-obok akuarium lagi, dan tebak apa yang kali ini diperbuat? Si ikan kini berada dalam genggamannya, dibaluri sekujur tubuh ikan dengan balsem, tidak tanggung-tanggung, merk Geliga, dan segera dikembalikan lagi ke akuarium. Mati donk? Yayalah,, hahaha. Tau gak, apa motivasi sang adek kecil ngebalurin tubuh ikan dengan balsem? Ternyata, menurut pengakuannya, dia kasihan dengan ikan yang ada di air, takut ikannya bakal masuk angin karena kelamaan di air, dia pun ambil balsem dan memulai aksi kriminalnya, hahahaha. Yampuuun, sumpah adeknya pinter banget.

Si Anak kembali ngerengek ke ayahnya minta dibelikan ikan lagi, tapi sepertinya ayahnya udah kapok, gak mau lagi ngebeliin ikan buat si adek. Hahaha.

Hidupmu selalu dikelilingi dengan orang kocak, Nda.

Satu lagi, tadi begitu kita masuk ke kosannya Nanda, dia langsung pamer sesuatu, dompet.

Piye jal, dompetku keren po ra? Keren bianget to?” (Gimana, dompetku keren gak? Keren banget kan?).
Ya ampun, sumpah ngakak, ngakak pake banget. Dompet yang menurutnya keren itu adalah dompet emak-emak yang biasanya didapat dari toko emas itu loh,, hahahaha. Sumpah kelakuanmu, Nda,, Hahaha.

Saben nang warung, terus arep mbayar, mesti bakule langsung ngguyu. Owalah Mas,, Mas,, ngganteng-ngganteng kok dompet’e koyo ngunu.” (Tiap ke warung, terus pas mau bayar, penjualnya pasti langsung ketawa. Owalah Mas,, Mas,, ganteng-ganteng kok dompetnya gitu).

Itulah, selalu ada yang konyol sama Nanda. Hidupnya selalu aja ada yang nyeleneh. Hahaha. Keep gila, Nda.

---

Kami berdua sudah siap, tujuan hari ini adalah Wonogiri. Ya trip ke Wonogiri ini harus terealisasi karena aku pengen banget nyobain railbus Batara Kresna, sebuah bis/kereta wisata yang memiliki trayek Purwosari-Solo Kota-Sukoharjo-Pasar Nguter-Wonogiri. Dinamakan railbus karena gerbong yang digunakan oleh kereta wisata ini tidak sepanjang gerbong kereta pada umumnya, hanya mampu menampung 24 penumpang duduk di tiap gerbongnya, tapi juga disiapkan holder atau pegangan tangan di sepanjang lorong gerbongnya. Juga karena kereta ini berjalan di jalan raya beriringan dengan kendaraan lainnya.

Kami harus menuju stasiun Purwosari terlebih dahulu buat beli tiket. Stasiun Purwosari terletak di Jalan Brigjen Slamet Riyadi di kawasan Laweyan, berhadap-hadapan dengan kantor Nanda. Oh iya, di sepanjang jalan Slamet Riyadi ini ada city walk gitu di pinggir jalannya, bagus banget pokoknya. Karena stasiun Purwosari ini di depan kantor Nanda persis, jadi gampang bagi kami untuk nitip motor di kantor, kemudian jalan kaki menuju stasiun. Menurut pengakuan Nanda, ini adalah pertama kalinya dia masuk stasiun Purwosari. Yampun padahal stasiun ini di depan kantornya pake banget. Haha.

Suasana stasiun pagi itu cukup ramai, kami segera menuju loket pembelian tiket Batara Kresna. Mbak penjaga loketnya cantik banget ternyata, pendapatku tentang mbak penjaga loket ini ternyata diamini juga oleh Nanda, haha kita se-type berarti. Mbaknya sempat mengira kami akan membeli tiket Prameks tujuan Jogja, karena penampilan kita mirip mahasiswa kata Nanda, hahaha.

 

Dua tiket Batara Kresna yang dibarter dengan 4000 rupiah per lembarnya sudah di tangan. Masih ada setengah jam lagi sampai dengan jam keberangkatan. Oke, cari makan dulu. Beberapa warung makan di sekitaran kantor Nanda yang biasa menjadi langganannya masih tutup sesiang itu. Tapi ada satu warung bercat hijau di sebelah stasiun yang sudah buka, oke masuk warung ini aja.

Aku pesan nasi rawon, maklum di Cirebon gak ada orang jualan rawon. Sedangkan Nanda lebih memilih nasi gudeg dengan kepala ayam. Plus dua gelas es teh untuk masing-masing kami berdua. Sarapan pagi beres, rasa kuah rawonnya cenderung manis kalau kata aku, tapi apalah yang harus dipikirin bagi kami pemilik perut serupa goni ini, makanan apa aja masuk kalau lagi lapar begini, hahaha.

Balik lagi ke arah stasiun dan langsung boarding karena railbus sudah terparkir di jalur satu. Ternyata keretanya keren banget, Nanda tampak antusias, ini bakal menjadi pengalaman perdana kami menaiki Batara Kresna. Sempet narsis-narsis terlebih dahulu di depan Batara Kresna. Naik ke gerbongnya, kami pilih gerbong dua dari ketiga gerbong yang dijalankan railbus ini. Suasana dalam gerbong tidak begitu ramai, kami masih bisa mendapatkan tempat duduk kosong dekat dengan pintu, cozy. 

 

Tepat jam sepuluh, peluit panjang dibunyikan dan plakat hijau telah diangkat oleh petugas stasiun Purwosari sebagai tanda izin jalan, dibalas dengan lenguhan keras klakson dari lokomotif railbus ini sebagai jawaban dan semboyan 35 dari masinis, Batara Kresna siap dijalankan. Tapi sepertinya ada yang salah, kita salah memilih tempat duduk, dengan posisi tempat duduk kami, seakan Batara Kresna berjalan mundur, haha.

Aku coba berjalan ke gerbong yang lain barangkali ada tempat duduk “maju” yang masih kosong untuk kami berdua, ternyata ada banyak, cuman posisinya tidak senyaman tempat duduk yang udah kita pilih di awal, dekat dengan pintu. Kutawarkan ke Nanda untuk pindah seat, barangkali nanti pusing atau apa kalau jalan mundur, Nanda menolak dengan sok iyes, haha, padahal belakangan dia akhirnya mengakui kalau penolakannya hanyalah bentuk gengsi dan jaga image, sebab sepanjang perjalanan, dia mulai pusing-pusing dan mengubah-ubah posisi duduknya, hahaha. <bersambung>


No comments:

Post a Comment