Perjalanan
ini adalah perjalanan dadakan, tanpa rencana, tanpa persiapan sebelumnya. Ada
niat, langsung cus berangkat.
Berawal
dari kejadian beberapa minggu sebelumnya, saat ada pekerjaan lapangan di daerah
pantura Cirebon Timur di kawasan Amirin. Aku melihat ada sosok putih beroda
enam melintas dengan gagah. Armada baru berbaju New Setra Jetbus HD2 garapan
Adi Putro dengan label nama Handoyo melaju ke Timur arah Jawa Tengah.
Setengah
tidak percaya, bukannya Handoyo biasanya menggunakan armada hitam Celcius
garapan Rahayu Sentosa? Apa ada peremajaan armada di jalur ini? Bukannya armada
Celcius itupun masih lumayan baru? Pertanyaan itu tak terjawab, namun yang
jelas pertanyaan itu mulai menyelimuti pikiranku. Mantap. Handoyo punya armada
baru dengan baju keluaran terkini Adi Putro.
Anggap
juga perjalanan ini sebagai kado setelah Wisuda J
====
Pagi
itu, Sabtu 14 November 2015 aku berangkat ngampus, bukan karena ada kelas, tapi
untuk melengkapi tanda tangan dosen guna pengambilan ijazah dan transkrip
nilai. Jam setengah sepuluh aku start dari kosan, karena waktu yang dijadwalkan
untuk ketemuan dengan sang dosen adalah jam sebelas.
Beberapa
jam menunggu, sampai akhirnya melebihi waktu yang dijanjikan, sang dosen tak
kunjung datang. Kucoba menghubungi via sms, tak berbalas, menghubungi via
telepon, tidak ada jawaban, chat via facebook, apalagi. Kucoba untuk menunggu
dengan perpanjangan waktu yang kubikin sendiri.
Sambil
menunggu di perpanjangan waktu yang aku sepakati sendiri itu, pikiranku mulai
menerawang tentang sebuah touring. Perjalanan singkat, cepat saja. Aku mulai
bimbang, ini hari Sabtu, besok sudah Minggu dan lusa sudah harus masuk kantor
lagi, mau ke mana? Bingung. Apa gak capek?
Tapi
keinginan naik bis ini sudah menggebu, entah tiba-tiba saja menjadi semakin
menggebu. Kerinduan akan makhluk berbentuk kubus beroda enam ini semakin
memuncak. Ah sudahlah, apa kata nanti, perjalanan ini harus segera dimulai.
Tapi, kemana?
Masih
sambil menunggu Pak Dosen, tapi pikiran udah melayang membayangkan pertarungan
sengit pantura. Kuraih handphone, kucari kontak salah satu PO tujuan
Yogyakarta, Citra Adi Lancar. Kupikir perjalanan ke Yogya tidak terlalu jauh
dan tidak begitu melelahkan, jadi kucoba saja opsi ini.
Via
telepon, agen CAL terminal Harjamukti menjelaskan bahwa CAL berangkat pukul
setengah delapan malam, dan masuk Giwangan sekitar pukul dua dini hari.
Harganya 165.000 rupiah. Langsung skip. Nyampe Giwangan sepagi itu? Trus aku
harus ke mana? Ngemper di terminal? Wong touring ini sudah jelas tanpa tujuan,
rasanya gak mungkin kalau aku harus nyampe terminal Giwangan Yogya sepagi itu.
Ditambah lagi dengan tiketnya yang fantastis dan tidak berimbang dengan
armadanya yang sudah sepuh berumur. Skip.
Kucari
kontak agen bus yang lain, kali ini pilihanku jatuh ke PO Handoyo. Sekalian
sambil menanyakan sosok baru berlivery putih yang kapan hari kulihat. Mas Adji,
agen Handoyo mengatakan kalau bus putih tersebut memang armada baru Handoyo
dengan trayek Cirebon – Malang yang berakhir di terminal Gadang via Blitar,
bukan berakhir di terminal Arjosari. Wuih sebuah pencapaian baru. Jarang-jarang
ada bus yang masuk Gadang dan meninggalkan Arjosari sebagai tujuan akhirnya.
Namun, masih menurut Mas Adji, armada ini belum rutin jalan, hanya kalau banyak
penumpangnya saja bus ini ngeline, kalau sepi ya armada terpakasa perpal dan
hanya armada Arjosari saja yang jalan. Kutanyakan tiketnya untuk armada Gadang
ini, ternyata sama, 175.000.
Ya
udahlah, aku sudah tetapkan, sudah kumantapkan hatiku. Aku pesan satu seat
tujuan Malang untuk perjalanan sore itu. Aku nitip pesan ke Mas Adji, kalau
armada putih tujuan Gadang berangkat, aku minta dipindah ikut bis tersebut
karena sementara ini seat 3 yang kubooking adalah seat di armada Arjosari.
Kalaupun bus baru livery putih itu nantinya gak berangkat, aku masih bersyukur
karena dapet hot seat di perjalanan nanti sore.
Proses
hunting tiket belum berakhir, aku masih butuh armada untuk kepulanganku ke
Cirebon. Yang ada dalam pikiranku adalah aku butuh armada yang kecepatannya
bisa diandalkan dan nyaman. Karena aku yakin kepulanganku nanti pasti hanya
diisi dengan tidur sebagai tebusan karena begadang waktu berangkat malam nanti,
juga sebagai persiapan kerja di hari Seninnya. Pilihanku langsung mengerucut ke
armada livery nano-nano, apalagi kalau bukan Pahala Kencana. Entahlah, ketika
memikirkan aku butuh armada yang nyaman dan kecepatannya mumpuni untuk mengejar
kerja di hari Senin, pilihan itu langsung jatuh ke Pahala Kencana, tidak ada
pilihan lain. Inilah keputusan yang nantinya membuat aku menyesal.
Kucari
kontak Mas Dedi, agen Pahala Kencana Jalan Pattimura, aku booking satu seat
tujuan Bandung untuk keberangkatan besok, aku tidak pedulikan lagi mau dapet
seat berapa, wong perjalanan ini pasti nantinya akan kuisi dengan tidur dan
tidur. Tak disangka aku masih dapet seat yang lumayan depan, 4A. Tak lupa aku
bilang ke Mas Dedi, untuk urusan pengambilan dan pembayaran tiket, akan aku
selesaikan di agen Arjosari esok pagi, Mas Dedi menyetujui.
Urusan
tiket clear. Perjalanan ini harus dimulai karena aku sendiri yang menyulut
apinya. Kulihat jam tangan, sudah pukul satu siang. Pak Dosen yang
ditunggu-tungu pun belum juga dating. Oke, ditinggal saja. Aku harus berkemas.
Segera saja aku berjalan menuju parkiran dan cus meninggalkan kampus menuju
kosan.
====
Saat
itu sudah jam setengah tiga. Semuanya sudah aku selesaikan begitu datang dari
kampus tadi siang. Menyeterika 2 potong kaos, satu untuk berangkat, dan satu
untuk besok pulang. Juga menyeterika 1 potong celana lagi untuk berjaga-jaga
apabila celana yang kupakai ada masalah atau basah ketumpahan apa gitu di
jalan. Lebih baik persiapan daripada mencari solusi setelah adanya kejadian di
perjalanan.
Aku
berangkat ke terminal naik elf. Menurut Mas Adji, Handoyo Malang berangkat
setengah empat, berbeda dengan Handoyo tujuan Surabaya yang berangkat satu jam
setelahnya. Sesampainya di terminal, kabar itu akhirnya kuterima, kabar bahwa
si putih hari itu perpal. Kecewa. Tapi show must go on. Kubayar selembar tiket
tujuan Malang itu sesuai tarifnya di harga 170.000. Tinggal menunggu keberangkatan.
Sore
itu suasana terminal Harjamukti di area keberangkatan bus malam cukup sepi.
Hanya ada beberapa bis saja yang sedang parkir. Tampak ada satu armada Citra
Adi Lancar sedang dimandikan, rupanya itu armada jatah nanti malam. Ada satu
armada Super Executive Coyo yang juga sudah berada di jalurnya, sedang menunggu
jam keberangkatan. Aku dengar kabar dari mbak Endang, agen Coyo Arjosari, bahwa
sudah beberapa bulan ini Coyo hanya memberangkatkan satu armada saja, tidak
lagi dua armada seperti biasa. Seperti halnya sore itu. Hanya tampak satu
armada berbaju Legacy dengan livery naga merah.
Di
area yang lain terdapat satu armada Colby Persada yang masih satu group dengan
Ezri. Sepertinya sore itu Ezri tidak memberangkatkan satupun armadanya. Busnya
sepi, dipanasin mesinnya saja pun tidak. Satu PO lagi yang tampak hari itu
adalah Handoyo, tiga armada. Dua armada yang sedang menunggu penumpang dengan
tujuan masing-masing adalah Malang via Solo dan tujuan Surabaya via Pantura,
satu lagi armada Handoyo yang sedang perpal, New Setra Jetbus HD2.
Rupanya
kehadiran Handoyo di Cirebon mampu menarik pelanggan Coyo dan Ezri sebagai
pemain lama di jalur Cirebon–Surabaya–Malang untuk berpindah kesetiaan. Tampak
sekali ketimpangannya. Armada Handoyo begitu ramai dikerubungi penumpang,
sedangkan kedua pesaingnya yang lebih berpengalaman hanya kebagian pelanggan
setianya saja. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan bagi Coyo untuk hanya
menjalankan satu armadanya saja, hitung-hitungan soalarnya gak masuk mungkin
kalau harus tetap memberangkatkan dua armada setiap hari.
Di
area pemberangkatan Handoyo sore itu, ada dua bus yang sedang melakukan
pemanasan mesin. Keduanya berbaju Celcius karya Rahayu Sentosa. Satu berwarna
hitam, dan satu berwarna cokelat, masih dengan dapur pacu yang sama, Hino RK8.
Armada warna cokelat bertrayek Cirebon–Surabaya via pantura, sedangkan armada
warna hitam adalah armada yang nantinya akan kutunggangi, jurusan Cirebon–Malang
via Solo.
Jam
sudah menunjukkan pukul 16.00, namun tidak ada tanda-tanda bus akan
diberangkatkan. Masih menunggu penumpang yang belum datang, begitu kata Mas
Adjie. Kru bus pun masih sibuk memasukkan karung-karung paket di bagasi sebelah
kanan. Aku yang saat itu sudah duduk santai di seat-ku hanya memperhatikan
kesibukan di sekitaran terminal, sambil sesekali mengamati interior bis ini.
Aku sudah pernah menunggangi armada ini sebelumnya, namun itu sudah sangat
lama, berarti dengan hari ini, dua kali aku melibas malam bersamanya.
Tampak
Coyo sudah terlebih dahulu berangkat, entah siapa yang sore itu mendapat giliran
sebagai pilot si Legacy naga merah. Aku tampak kecewa, kok duluan Coyo sih yang
berangkat, harusnya kan Handoyo ini berangkat setengah empat tadi.
Tak
lama kemudian, dua orang penumpang yang ditunggu datang dan segera naik ke
kabin. Bapak kenek melakukan final check, dan memberikan kode kepada driver
untuk segera berangkat. Pak Agus yang sore itu menjadi driver pertama, segera
meraih tuas perseneleng, memindahkannya ke gigi mundur, dan mesih Hino pun
mulai menggerung.
Keluar
lokasi terminal, di kejauhan tampak Coyo yang berangkat sebelumnya. Masih di
sana dia ternyata. Saat mendekati fly over Tiga Berlian, Coyo lebih memilih
lewat jalan under pass, mau minum solar mungkin, sedangkan Handoyo lebih
memilih naik fly over. Gas sedikit dibejek oleh Pak Agus yang sore itu
berpenampilan rapi dengan kaos polo warna kuning dan celana jeans biru, lengkap
dengan sepatu pantofelnya.
Melintasi
rumah makan Aroma, terdapat armada Pahala Kencana bermesih MB 1526 dengan
trayek tujuan Madura keluar dari rumah makan. Handoyo tidak memberikan jalan,
sehingga PK keluar setalah Handoyo lewat. Kini Handoyo punya teman seperjalanan
dengan posisi Handoyo di depan dan PK di belakangnya.
Di
rumah makan Kalijaga2, terlihat armada PO. Haryanto yang sedang service makan,
entah HR berapa, yang jelas menggunakan baju Zeppelin livery paduan emas dan
hitam jahitan karosore Gunung Mas. Zeppelin yang menurutku hampir mirip dengan
New Setra Jetbus HD2 punya Adi Putro, sangat mirip malah, entahlah aku belum
menemukan perbedaannya.
Lepas
fly over Gebang, Handoyo memberikan sein kiri, menurunkan rpm mesin, dan
berjalan menepi sehingga membiarkan Pahala Kencana di belakangnya merangsek
mendahului. Bus ternyata menepi untuk menaikkan dua sarkawi. Masih menjadi
kebiasaan Handoyo, punya sarkawi yang terorganisir. Mereka tidak dicari oleh
kru, tapi para sarkawi ini telah menelepon kru sebelumnya dan minta untuk naik
dari sini, dari sini. Rapi.
Perjalanan
pun kembali dilanjutkan, sepi. Tidak ada bus malam jam segini yang melintasi
pantura. Handoyo memang memiliki jadwal keberangkatan yang lebih awal sehingga
tidak mungkin untuk bertemu dengan bus malam asal Jakarta di jalanan. Tidak ada
yang bisa dilihat sampai akhirnya di daerah Brebes, Handoyo berhasil mengasapi
Asli Prima bumel yang memang berjalan pelan di lajur kiri. Lalu lintas sore itu
cukup lancar, kecuali saat sampai di depan Rumah Sakit Bhakti Asih Brebes,
macet, entah ada apa. Semua kendaraan diam, sesekali maju perlahan. Handoyo
masih membuntuti Pahala Kencana yang tadi ketemu di rumah makan Aroma. Pak Agus
bilang, kalo PK blong kanan, kita ikut. Namun ternyata PK masih setia
bermacet-macet ria. Tidak tampak pergerakan untuk melakukan blong kanan.
Lepas
kemacetan, Handoyo masih membuntuti Pahala Kencana yang mulai menjauh. Sampai
akhirnya masuk terminal Tegal untuk ambil penumpang di agen. Perjalanan kembali
diteruskan.
Skip,
skip.
Masuk
terminal Pemalang, kembali ambil penumpang di Agen. Setelah penumpang agen
Pemalang terangkut, Pak Agus kembali menjalankan Handoyo ini dengan kalem,
mungkin memang begitu pembawaannya. Lepas pemalang, kembali terjebak macet.
Kali ini kemacetan terlihat lebih panjang dan parah. Handoyo tidak lagi membuntuti
Pahala Kencana karena proses berhenti-berhenti di agen yang membuat Handoyo
harus ketinggalan jauh. Saat terperangkap kemacetan ini, tiba-tiba dari
belakang, Haryanto yang tadi sedang service makan, ngeblong kanan diikuti Coyo
yang tadi keluar lebih dahulu dari terminal Cirebon. Sial, umpat Pak Agus yang
tidak bisa mengikuti keduanya karena terjebak di lajur kiri. Cepat juga
ternyata armada Pak Haji ini. Ketemu di RM Kalijaga2 sedang service makan,
ditinggal keluar masuk terminal untuk menaikkan penumpang, Haryanto masih bisa
mengejar. Ternyata itu adalah HR 135 team Wonogiri. Sesekali patut dicoba nih
pasukan Haryanto yang memang diunggulkan dalam hal kecepatan. Suatu saat.
Lepas
dari kemacetan yang ternyata disebabkan oleh adanya penyempitan jalur akibat perbaikan
jalan, Pak Agus masih kalem menjalankan mesin RK8 ini. Begitu ikhlas saat
diasapi oleh Akas Asri trayek Jakarta–Jember dengan baju JetBusHD rombakan Dafi
Putra. Tanpa perlawanan.
Masuk
terminal Pekalongan. Ternyata tidak hanya penumpang agen yang naik dari sini,
melainkan juga berkarung-karung paket. Berhenti sangat lama di sini, sampai
akhirnya armada Surabaya pun datang. Proses menaikkan paket sangat lama, karena
saking banyaknya. Bagasi sudah tidak muat. Pihak agen koordinasi dengan kru
yang akhirnya diambil keputusan bahwa paket dinaikkan ke dalam kabin saja
karena bagasi kanan kiri sudah penuh. Paket dinaikkan dan dimasukkan ke kandang
macan. Ternyata masih tidak cukup juga, akhirnya paket diletakkan menggunung di
depan toilet yang membuat toilet dan pintu belakang tidak dapat diakses. Wew.
Urusan
paket beres, Handoyo kembali berangkat di jam 21.11. Kali ini perjalanan tidak
sendiri, karena armada Surabaya ikut membuntuti di belakang. Lumayan ada teman
untuk menghadapi trek Alas Roban.
Menghadapi
Alas Roban dengan suguhan trek menanjak dan berliku tidak terlalu kupusingkan.
Aku masih sangat percaya kalau Hino RK8 ini mampu melibasnya dengan sangat
mudah. RK8 adalah mesin yang tidak hanya mumpuni di trek lurus datar, namun
juga unggul di tanjakan. Hal itu terbukti di tanjakan Alas Roban pun, Handoyo
ini masih bisa mendahului beberapa truk yang mulai tersengal menghadapi
ganasnya tanjakan Alas Roban. Pak Agus menjalankan armada dengan sangat smooth.
Handoyo
masuk Alas Roban di jalur lama, tidak menggunakan jalur baru karena memang
service makan Handoyo ada di rumah makan Indorasa3 yang terletak tepat selepas
Alas Roban, tidak jauh dari rumah makan Menara Kudus. Tikungan-tikungan tajam
berhasil dilibas dengan sangat mudah sampai akhirnya sampai di rumah makan
diikuti dengan saudaranya, Handoyo cokelat tujuan Surabaya.
Malam
itu suasana parkiran Indorasa3 yang memang menjadi tempat service makan Handoyo
terlihat sepi, mungkin karena sudah terlalu malam dan melewati jadwal biasanya.
Kemacetan panjang dan proses naikin paket di Pekalongan tadi menjadi penyebab
armada ini terlambat masuk rumah makan. Tapi itu ada hikmahnya, suasana rumah
makan menjadi kondusif, tidak kotor karena banyaknya orang dan mbak-mbak
pelayan pun bisa melayani dengan baik. Berbeda dengan saat pengalaman pertama
naik Handoyo, sampai di rumah makan ini di saat ramai-ramainya, suasana rumah
makan benar-benar full, penuh dengan keruwetan dan segala rupa.
Selain
dua armada Handoyo dari Cirebon, di rumah makan ini juga terparkir 2 armada
lain. Satu armada Patas tujuan Jakarta-Solo berbaju Celcius dan satu armada
tujuan Solo–Jakarta yang juga berbaju Celcius, namun dilengkapi dengan empat strobo
di depannya.
Service
makan di rumah makan ini tidak dilayani dengan prasmanan, semuanya sudah
dijatah. Penumpang hanya tinggal mengambil piring yang sudah lengkap dengan
nasi dan lauknya. Malam itu menunya adalah ayam goreng dengan paduan sayur
asem. Beberapa penunpang terlihat lebih memilih menu yang lain dengan cara
membeli di counter makan daripada mengambil “jatah”, menunya tidak cocok
mungkin.
Di
Indorasa3 ini, bis tidak berhenti lama. Aku yang saat itu sudah selesai makan,
beres urusan toilet dan sholat magrib yang disatukan dengan isya, segera naik
ke bus. Driver dua yang ambil posisi saat ini. Entah siapa namanya, namun
perawakannya gagah dengan rambut yang agak gondrong. Aku berharap banyak pada
driver ini.
Keluar
rumah makan, gas langsung dibejek. Tepat sesuai dengan perkiraanku. Driver ini
jauh lebih berani ketimbang Pak Agus. Lepas rumah makan, Handoyo membuntuti
Lorena yang begitu cantik memainkan sein. Goyang kanan, goyang kiri, sangat
cantik driver Lorena ini dalam permainan sein sehingga bisa diikuti oleh
kendaraan di belakangnya. Namun itu tidak lama, Handoyo yang kali ini lebih
bertenaga dengan driver dua, mampu melibas Lorena. Namun, tepat sebelum masuk
Kendal, kemacetan kembali terjadi, kali ini jauh lebih parah. Stuck.
Ada
mungkin satu jam kendaraan berhenti, bergerak sangat perlahan dan kembali
berhenti. Ternyata ada laka di jalur seberang, arah Jakarta. Truk pengangkut
cairan kimia terguling sehingga menutup seluruh badan jalan arah Jakarta yang
mengakibatkan penyempitan jalur arah Semarang karena dipakai untuk dua arah.
Lepas
dari kemacetan, melewati batas kota Kendal, Handoyo memporak-porandakan konvoi
tiga armada Sindoro Satriamas dan 1 unit Agra Mas. Konvoi yang sebelumnya rapi
ini hancur dipecundangi Handoyo. Handoyo di tangan driver dua ini tampak
seperti bukan armada solar jatah. Tidak puas sampai di situ, masih di Kendal,
kembali NS93 tujuan Jakarta–Kudus berhasil diasapi dari lajur kiri. Gila.
Sampai
di terminal Mangkang, Handoyo tidak masuk terminal. Retribusi TPR dilempar
begitu saja oleh kenek ke arah Petugas yang berjaga di luar terminal. Di SPBU
setelah Mangkang, Handoyo kembali menepi, mau minum solar pikirku, ternyata
meleset. Handoyo kembali menaikkan dua orang sarkawi di sini. Kru panen
ternyata, lumayan, ada empat sarkawi yang mereka angkut malam ini.
Sampai
di pertigaan depan kampus Stekom, Handoyo berpisah dengan rekannya. Handoyo
yang kutumpangi ambil kanan untuk masuk Tol Manyaran, berpisah dengan
saudaranya yang meneruskan perjalanan ke Surabaya via Pantura. Bus yang
kutumpagi melaju dengan ngotot di dalam tol, jarum speedometer bahkan pernah
mencapai angka 110 saat sesekali kulirik dari seat-ku. Tak lama, Handoyo keluar
di exit Tol Bawen, ambil arah kiri, meneruskan perjalanan ke kota Solo.
Handoyo
masuk kota Solo di jam 2.11, tidak masuk terminal karena memang tidak ada
penumpang yang turun Solo. Kota Solo memang cantik, bahkan di saat dini hari
seperti ini pun susana dan kondisinya begitu indah, masih saja ramai.
Pertahananku
mulai goyah di sini. Rasa kantuk mulai menyerang hingga akhirnya tidur ayam,
masih bisa kurasakan bagaimana armada ini berlari kesetanan dengan driver dua,
tanpa komando dan aba-aba dari kenek karena kenek pun sudah tertidur.
Aku
terbangun penuh, tidak lagi tidur ayam, membetulkan posisi duduk, mencari tau
posisi. Ternyata bus sudah masuk Nganjuk, entah jam berapa saat itu. Mata masih
sepet, dan kembali merem.
Kembali
terbangun saat ada dua orang penumpang yang turun di agen Mojosari. Kedua orang
ini adalah penumpang yang duduk di seat tepat di belakangku. Dengan turunnya
kedua penumpang ini, maka reclining seat bisa aku maksimalkan, kuturunkan penuh
sandaran kursiku. Ini saatnya istirahat, rebah dalam dekapan seat pabrikan
Aldila. Benar-benar ngantuk, sebab selama perjalanan tadi, kondisi seat yang
terlalu mepet, membuat badan benar-benar terasa capek. Bagaimana tidak sempit,
bis ini berisikan 38 seat, sudah bukan konfigurasi bus eksekutif umunya, ini
udah masuk konfigurasi bis patas mungkin. Kini saatnya tidur beneran,
mempersiapkan tenaga untuk hari ini.
Saat
menurunkan penumpang di agen Mojosari ini, posisi kemudi kembali berpindah ke
tangan Pak Agus, cocok nih buat tidur.
Sinar
matahari mulai menerpa wajah, silau. Pukul 07.16 saat aku melihat jam tangan.
Aku terbangun, di mana ini. Kubetulkan posisi kursi, tidak lagi rebah. Betapa
terkejutnya aku ketika melihat sekitar, ini sudah Karanglo, wow!! Aku tidur
dari Mojokerto sampai Karanglo, Singosari? Amazing. Ini tidur apa pules?
Sebentar lagi sampai berarti. Dan benar, tidak lama, bis sudah berbelok kiri
menuju terminal Arjosari, menurunkan beberapa penumpang di Taspen, dan jalan
terus menuju terminal. Ternyata bus berhenti lagi di SPBU di sebelah pintu
masuk terminal. Semua penumpang lebih memilih turun di sini daripada harus
menunggu Handoyo selesai minum. Begitupun aku.
=====
Selamat
pagi, Malang. 15 November 2015.
Memasuki
area terminal, yang pertama kali kucari adalah kamar mandi umum. Badan udah
lengket pengen banget mandi. Urusan mandi di terminal bukan lagi masalah,
rata-rata kamar mandi umum di terminal kondisinya sudah bersih sekarang. Beres
urusan mandi, tempat berikutnya yang dicari adalah warung makan. Makanan di
warung-warung sekitaran terminal Arjosari tergolong manusiawi dalam masalah
harga, seperti pagi itu, sepiring nasi pecel dengan lauk perkedel jagung dan
telor ceplok ditebus hanya dengan Rp 12.000, cukup manusiawi kan?
Urusan
sarapan kelar. Aku kembali berjalan di area terminal, tujuanku selanjutnya
adalah kantor agen Pahala Kencana, karena kemaren sudah janji ke Mas Dedi buat
nebus tiketnya di terminal. Agen Pahala Kencana di terminal Arjosari berada di
bagian paling depan di antara deretan agen-agen bus yang lain. Ada dua orang
mbak-mbak yang pagi itu “ngantor” di agen Pahala Kencana. Langsung kusebut saja
keperluanku ke salah satu mbak yang di sana, si mbak lalu mengambil selembar
tiket dan mengisinya, setelah selesai, tiket itu segera berpindah ke tanganku, barter
dengan sejumlah harga yang tertulis di sana.
Urusan
di terminal beres, saatnya keliling Malang. Tempat yang pertama aku tuju adalah
alun-alun kota Malang yang pagi itu suasananya ramai sekali.
Cukup
susah ambil foto di spot ini karena selalu saja ada yang foto di tempat ini. Ada
juga arena buat main skateboard di alun-alun ini.
Masjid
agung kota Malang yang biasa disebut dengan Masjid Jami’
Siang
itu ada Macyto, Malang City Tour, bus wisata untuk keliling kota Malang,
seperti halnya Bandros kalau di Bandung. Namun sial, hari itu Macyto tertutup
untuk umum, sedang disewa, kata petugasnya.
Tujuan
berikutnya adalah Taman Tugu yang terletak persis di seberang gedung Balai Kota
Malang.
Hari
sudah semakin siang, saatnya makan siang. Menu kali ini harus benar-benar aneh.
Menu yang jarang aku makan. Oke, pilihan jatuh ke Tahu Campur. Muter-muter cari
warung yang sesiang itu jualan tahu campur, karena biasanya tahu campur dijual
malam hari. Akhirnya dapat juga di daerah Klojen, dekat dengan kantor agen
Kramat Djati.
Ya
seperti itulah penampakan tahu campur. Komposisinya yang pasti adalah potongan
tahu ditambah tauge, daun sla, bihun, potongan daging sapi dan kikil, lentho
(olahan dari singkong) dan irisan lontong, kesemuanya disiram dengan kuah petis
panas yang yahud, buat kalian yang belom pernah coba, kudu cobain makanan yang
satu ini, dijamin nagih.
Karena
jam sudah semakin lewat tengah hari, perjalanan harus segera dilanjutkan. Cari
angkot arah terminal Arjosari. Dalam perjalanan ke terminal inilah akhirnya aku
tahu letak garasi Restu Mulya yang ternyata di daerah dekat lapangan Rampal dan
garasi Ezri di dekat kawasan Araya. Sepanjang perjalanan menuju terminal,
karena kebetulan aku duduk di depan, so perjalanan diisi dengan mendengarkan
curhatan mas driver tentang istrinya yang setelah lama kerja di luar negeri,
malah minta cerai. Hmmm.
Nyampe
terminal, lapor ke agen, ternyata masih mbak-mbak tadi pagi yang jaga.
Mbak-mbaknya bilang buat langsung aja ke parkiran, bus-nya sudah siap. Di parkiran
memang sudah tampak barisan bus malam yang malam ini akan turun aspal. But
wait, ke toilet dulu, ke musholla dulu. Hehehe.
Beres
semua urusan, kini saatnya poto-poto, namun langsung shock begitu melihat sosok
hijau Gunung Harta yang siang itu parkir pas di sebelah Pahala Kencana. Ya
ampuuun cantiknya, GH kinyis-kinyis dengan baju New Setra Jetbus HD2 garapan
Adiputro bermesin Scania K360. Mengapa bus ini benar-benar terlewat dari
pikiraku saat kemarin hunting tiket balik dari Malang? Kok ya gak kepikiran
sama sekali buat booking GH kemaren? Airsus lagi,, haduuuh.
Dan
taraaa, ini penampakan bisku, Pahala Kencana tujuan Bandung. Oke, baju Jetbus
garapan AP, tapi mesinnya? Hino RG, terlihat dari posisi hand brake yang
terletak di samping seat driver, persis seperti hand brake mobil pada umunya.
Langsung lemes. Apalagi kalau kembali menatap si ijo GH di sebelahnya.
Ini
penampakan interiornya, masih cukup terawat. kursi buatan Aldila yang lumayan
tebal, nyaman buat bobomania.
Kembali
lihat-lihat kondisi parkir terminal pemberangkatan bus malam, sambil sesekali
melirik Gunung Harta. Hehehe. Sore itu 3 Pahala Kencana (tujuan Bandung, Merak
dan Jakarta/Bogor), 1 Gunung Harta (tujuan Bogor) dan 2 Lorena (tujuan Jakarta
dan gak tau satunya ke mana, seingatku Sumatera) yang sudah siap di jalur
pemberangkatan.
Ada
juga Malino Putra dan ALS yang masih parkir di tempatnya.
Busku
pun diberangkatkan, seat sebelah masih kosong, entah memang kosong atau ada
penumpangnya yang bakal naik dari agen mana, aku gatau. Badan capek banget
pokoknya. Namun lumayan, sebelum seat sebelah terisi, bisa dikuasai, hehehe.
Crew membagikan snack. Hino RG berjalan perlahan di antara kemacetan, lengkap
dengan bunyi kriyet-kriyetnya.
Entah
tertidur berapa lama, yang jelas, sejak tadi snack dibagiin, masih sempat berjalan
ke depan buat ngecharge power bank di steker yang dipasang di atas seat 2A-2B,
langsung terkapar, ngantuk banget. Bangun-bangun saat berada di tengah
kemacetan, namun masih berjalan walaupun perlahan. Surabaya. Loh kok masuk
Surabaya?
Gak
lama, PK masuk ke kantornya di Jalan Arjuno, disusul 2 PK yang tadi bareng dari
Malang. Loh kok sekarang PK Malang masuk Surabaya? Emang PK Surabaya gak jalan?
Mungkin karena penumpang sedang sepi, pemberangkatan armada pun dibatasi dan
diatur sedemikian rupa.
Perjalanan
ke Barat ini biasa saja, tanpa aksi blong-blongan. Seat sebelah baru terisi
saat service makan di Taman Sari, Tuban. Rupanya penumpang ini adalah penumpang
terakhir yang menggenapi kekosongan seat PK Bandung, dengan naiknya penumpang
ini, semua seat PK Bandung malam ini menjadi full. Tak lupa, aku ambil power
bank yang tadi aku charge di steker di atas seat 2A-2B
Oh
iya, saat makan di Taman Sari ada penampakan PK livery ombak biru loh, tertulis
di kacanya jurusan Banyuwangi-Jakarta, loh kok malah perpal di sini? Entah
sudah berapa hari parkir di sana.
Perjalanan
lebih sering kuisi dengan tidur setelah sebelumnya kusempatkan ngobrol dengan
mas-mas yang duduk di kursi sebalah. Tidur,,, tidur,,,
Yang
jelas, dari perjalanan bersama PK ini aku jadi tau kalo check point PK di Tegal
telah pindah ke Rumah Makan Aroma, Cirebon. Jadi semua PK kontrol di sini, baik
dari Timur maupun dari Barat, persis kayak pas masih di Tegal, bedanya, di sini
PK dari Barat, selain kontrol juga service makan. Jadi bisa dipastiin PK gak
lagi masuk Tol Pejagan.
Akhirnya,
sampai juga di kosan jam 7.00. Catatn waktu yang lumayan buruk untuk PK
Bandung, karena selama beberapa kali ikut armada ini, biasanya selalu bisa
mendarat di kosan sebelum jam setengah enam.
Hati ini selalu berdebar manakala membaca ,melihat,atau menaiki yang namanya Bus Handoyo hahaa, mungkin ini yang namanya cinta wkwkwk,sy suka tulisannya . Baru tau juga kalo ada Haryanto yg ngeline ke Wonogiri , mungkin next trip mau coba Haryanto.
ReplyDeleteTerima kasih banyak Mbak Warda udah mampir di blog saya.
DeleteWeis,, Handoyo Mania nih, hehe. Salam kenal, Mbak.
Armada Haryanto jatah Wonogiri termasuk yang keren-keren loh,, Monggo dicoba di next trip.