Sunday, September 13, 2015

Trip Hari Merdeka (2)


Seteah puas jalan-jalan, lapar mulai melanda. Sebelumnya aku udah bilang ke Lisanan,aku punya tempat makan yang pengen banget buat aku coba di daerah Cihampelas. Tempat makan yang aku dapet infonya dari cerita-cerita food blogger. Tempat makan dengan tagline “Terlezat nomor dua se Timur Tengah”, apalagi kalau bukan Rumah Makan Kambing Bakar Cairo.

Telpon temen Bandung dulu buat nanya-nanya angkot tujuan Cihampelas dari alun-alun. Udah dapet info kudu naik angkot apa aja, mari berangkat. Kalau di Bandung, sebenernya lebih enak naik bus kota daripada naik angkot. Tarif bus kota lebih jelas ketimbang tarif angkot yang berdasar pada jarak. Makin jauh jarak, makin mahal tarifnya, tapi kan jadi gak ada standarnya untuk ukuran jauh dan mahal itu segimana.

Kami tiga kali oper angkot, harusnya sih dua kali aja, disambung jalan kaki, tapi karena sempet kelewat sampe ke Setiabudi, kita kudu turun lagi nyambung angkot ke Cihampelas. Tidak susah menemukan tempat makan Cairo, posisinya tidak jauh dari Ciwalk.


Kami pilih duduk di lantai dua biar bebas melihat pemandangan jalan Cihampelas yang relatif macet dengan banyaknya toko-toko penjual kaos. Memilih menu yang disediakan, aku pilih Kambing Bakar ukuran medium bagian punggung, yang katanya bagian ini adalah bagian yang paling sedikit lemaknya dan bisa merasakan sensasi menghisap sumsum, ditambah omelet, seporsi nasi dan jeruk panas. Lisanan? Memesan menu yang sama, tapi tanpa omelet.

Tidak terlalu lama, makanan sudah dihidangkan. Wow, ukuran kambing bakarnya ternyata lumayan besar untuk size medium. Namun ukuran nasinya, terlalu sedikit menurut perut kami yang cacingan, hahaha. Begitu juga sambel kecapnya, terlalu minimalis, khusus untuk urusan sambel kecap ini, kami sampe request tambah. Omeletnya biasa saja, gak ada yang spesial. Bagaimana dengan kambing bakarnya? Sempurna. Begitu empuk dan tidak ada aroma kambing sama sekali. Juara. Sumsumnya juga, sedikit butuh pengorbanan memang buat dapetin sumsumnya, namanya juga di tengah tulang, tapi overall, mantap lah.

Harganya? Yah, ono rego ono rupo lah, sebanding. Paling gak, penasaranku terbayar. Next mungkin bisa dicoba untuk menu lainnya yang sepertinya juga layak dipertimbangkan, hehe.

Rumah makan ini cukup rame, apalagi di jam makan siang seperti ini. Di meja sebelah ada sekumpulan bule yang lagi lunch. Di pojok sebelah sana, ada bapak-bapak berkemeja rapi yang sepertinya beres berbisnis, di meja sebelahnya ada pasangan suami istri, rame pokoknya.

Kekurangannya, rumah makan ini belum bisa menerima debit selain BCA. Ini yang jadi masalah, setiap kali trip, transaksi yang bisa dilakukan dengan debit akan aku lakuin dengan debit, gunanya tentu saja untuk menjaga ketersediaan uang cash selama di perjalanan, karena di kota orang kita tidak tau di mana – di mana lokasi ATM berada. Kan gak lucu kalo pas lagi ngetrip, kehabisan uang cash sementara lokasi ATM jauh banget akses ke sananya.

Cukup lama kami diem duduk-duduk di tempat makan ini setelah beres makan, sekedar untuk wasting time. Jam masih nunjukin pukul 15.00, sementara keberangkatan bus kami ke kota selanjutnya jam 18.30. Masih sangat lama. Ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya lihat map di hp. Jarak dari Cihampelas ke Pajajaran tidak terlalu jauh, hanya 1,6 km. Awalnya kita berencana naik angkot Cicaheum-Ciroyom buat ke Pajajaran, tapi karena waktu yang masih lama dan jarak yang cuman 1,6 km, kita hajar aja pake  jalan kaki. Hehehe.

Jalan kaki di jalanan kota Bandung lumayan asyik, banyak yang dilihat. Matahari memang terik, tapi hawa gak terlalu panas, friendly lah buat pejalan kaki model kami ini. Kami jalan sangat santai,tiap ada halte selalu numpang duduk berhenti, soalnya jam keberangkatan masih sangat lama. Kita sempet duduk lama di halte GOR Pajajaran, sambil lihatin mereka yang asyik olahraga di dalam GOR. Dari GOR Pajajaran, pool bis yang akan kami tumpangi nanti, sudah sangat dekat.

Pool bis Nusantara sudah mulai kelihatan ketika kami kembali meneruskan langkah kaki. Terlihat ada 3 armada Nusantara berlivery warna ungu. Dua armada kelas premiere atau eksekutif dengan dapur pacu MB berbaju Jutbus garapan Adiputro, dan satu armada kelas signature, atau super eksekutif dengan dapur pacu Scania.

Kami singgah sejenak di pool untuk lapor dan cek tiket. “Berangkat 18.30 yah Mas.” Kata mbak-mbak yang jaga saat itu. Wew, masih lumayan lama. Numpang ke kamar madi pool sebentar, keluar lagi. Lihat-lihat 3 armada yang parkir di depan pool, yah, 3 armada ini yang malam ini ambil line. Foto-foto sebentar dan melakukan observasi seadanya sama bus yang nanti kami tumpangi. Ketiga mesin bus sudah nyala, lagi dipanasin sepertinya.


Karena masih ada waktu, kita jalan ke Alfamart, beli minum dan perbekalan buat perjalanan nanti malem. Masih sempet juga nongkrong di depan Istana Plaza, cuci mata di bumi priangan, hehehe. Gak lama, balik lagi ke pool karena jam keberangkatan udah bentar lagi.


Pintu bis sudah dibuka, tersisa hanya ada 2 bis saat kami kembali dari Istana Plaza, Mungkin satu bis udah jalan duluan ke Cicaheum buat ambil penumpang. Mas kenek udah mempersilahkan penumpang masuk kabin dan membantu meletakkan barang bawaan berlebih di bagasi.

Pilihan kami saat itu adalah Nusantara Signature Class dengan kode NS-99 bermesin Scania dengan konfigurasi seat 2-1 dan kapasitas hanya 18 atau 21 penumpang, sepertinya 18. Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah per-bis-an, aku naik armada semewah ini, bermesin Scania lagi. Bener-bener yang pertama kalinya naik Scania. Sudah lama aku ngidam naik bus ini. Pernah sekali ngerencanain mudik naik bus ini, tiket sudah di tangan, tarif sudah di bayar, tapi takdir mengatakan lain, keberangkatan harus aku cancel karena bentrok dengan adanya acara kantor. Kepulanganku pun tertunda.


NS-99 merupakan legenda dan buruan di kalangan pecinta bus. Bus dengan kesan mewah ini sempat menjadi incaran hampir semua bismania. Di masanya, dia adalah maestro dengan segala kemewahan yang ditawarkan. Namun karena faktor usia, penampilannya tak segagah dulu. baju Irizar jahitan karoseri kawakan asal Malang, Adi Putro, sudah terlihat lusuh. Lampu led depan juga sudah mati sebelah. Sudah waktunya bus ini ganti baju. Eksterior memang terihat lusuh, namun kesan mewah pada interiornya masih jelas terlihat, seat berkelas ala pesawat pun masih terlihat sangat terawat.


Kami dapat hot seat di sebelah kanan, nomor 1B dan 1C, tepat di belakang driver. Sengaja aku pesan jauh-jauh hari demi mengamankan hot seat buat menikmati laga pantura sepanjang perjalanan. Kita akan lihat kemampuan Scania malam ini. Dari hot seat ini, terlihat kemudi dan panel dashboard Scania dengan begitu elegan, lengkap dengan logo singanya.


Kita atur ransel yang kita bawa, atur duduk senyaman mungkin. Lisanan ambil seat deket jendela, sementara aku pilih di pinggir lorong agar pandangan ke depan lebih leluasa. Sempet ndeso dengan reclining seat model elektrik. Reclining seat di semua bis yang aku naiki sebelum-sebelumnya, selalu yang model tuas, namun malam ini kami dapet mainan baru, reclining model elektrik. Tinggal tekan, dan seat pun langsung bergerak ndlosor memposisikan penghuninya ke posisi bobo cantik. Perjalanan menuju kota kretek pun dimulai. Selamat tinggal Bandung, selamat datang Kudus.

Penumpang NS-99 malem itu penuh, long weekend. Bus mendapat izin berangkat setelah sebelumnya dilakukan pengecekan penumpang oleh mas-mas Agen. Scania mengaum sebentar dan bergerak mulus. Terlihat di seberang ada banyak armada Bandung Express juga siap-siap untuk diberangkatkan. Pool mereka ternyata berdekatan.

Bandung macet parah malam itu, bahkan saat bus masuk Tol Pasteur pun kondisinya sama saja. Bener-bener macet. Jalan merayap, bahkan sesekali berhenti. Singa Scania tidak bisa unjuk gigi kali ini. Daripada bosen, aku telpon keluarga saat itu, sekalian pamitan untuk keberangkatan etape berikutnya. Karena keberangkatan Cirebon-Bandung udah pamit sebelumnya.

Ada kejadian kecil saat di dalam tol, panel dashboard tiba-tiba berkedip dengan menampilkan tampilan berkedip tanda seru berwarna merah, dibarengi dengan suara beep berulang. Driver panik. Namun sepertinya co-Driver lebih mengerti dengan keadaan ini. “Direset ae Mas, pateni, trus uripi maneh.” (Direset saja Mas, matiin, terus idupin lagi) Kata co-Driver. Mas Driver pun segera melakukan apa yang dibilang asistennya, Alhamdulillah, mesin normal kembali. Singa kembali mengaum.

Scania mengalami trouble memang hal yang menakutkan di kalangan sebagian kru bus. Paling tidak itu yang aku tahu dari obrolanku suatu waktu dengan seorang kru bus dalam perjalanan mudikku sebelumnya. Mesin Scania memang terkesan mbingungi karena memang full computerized dan electrical untuk drive systemnya. Bahkan banyak yang bilang, “Nek Scania trouble, isone mung nyenteri, ora isu melu ngewangi ndandani.” (Kalau Scania trouble, bisanya cuman kasih penerangan lampu senter, gak bisa ikut bantu benerin). Hehehe.


Kemacaten masih terus terjadi bahkan sampai pintu keluar Tol Cileunyi … (bersambung)

No comments:

Post a Comment