Sabtu/14/05/2016-18:46.
Aku
udah berada dalem tenda, ngeringkuk dengan baju yang udah diganti. Kostumku
saat ini adalah Celana PDL, kaus kaki, kaos lengan pendek dengan jaket rangkap
dua, masih ditambah dengan atasan jas hujan dan syal yang menutupi leher plus
kepala. Masih sangat dingin rasanya. Aku ngeringkuk bareng wa Ali, sementara
Mang Omo, di pintu tenda, lagi jongkok sambil ngabisin batang rokoknya.
Oh
iya, Mang Omo tadi sempet bugil loh di dalem tenda, bugil bener-bener bugil di
depan aku dan wa Ali, buat ganti baju. Yampun tuh orang, luar biasa emang, hahaha.
Lisanan
dan temen-temennya di tenda sebelah lagi nyiapin makan malam dengan menu nasi
dan lauk sarden, plus abon. Sambil
menunggu nasi matang, kami isi perut dengan roti dan apapun yang bisa jadi
pengganjal, lapar, hehe.
Hujan
udah mulai mereda, tapi angin masih saja berhembus sangat kencang, menimbulkan
suara mengerikan di atas pepohonan sana. Ada masalah, nasi yang dimasak seperti
kurang air, sebagian gak mateng. Ah, udahlah, tambahin air lagi, rebus lagi,
biarin jadi bubur juga, ini di hutan, dan ini yang kami punya sekarang.
Akhirnya, nasi pun terselamatkan, meskipun dengan tekstur yang sangat lembek,
hampir mirip bubur, tapi masih ada lah tekstur nasinya, loh? Hehe.
Beres
makan dan beres ngeberesin alat masak, kami masuk tenda masing-masing. Masih
ada sisa waktu untuk sekedar merem bentar. Sesuai dengan kesepakatan, kami
harus istirahat karena nanti malem kita akan mulai perjalanan lagi. Semuanya
harus bisa manfaatin waktu istirahat dengan baik. Perjalanan nanti malam menuju
puncak adalah perjalanan yang gak bisa diremehin.
Mulai
merebahkan badan, posisiku berada di tengah, diapit oleh Mang Omo di sebelah
kiri dan wa Ali di sisi kanan. Memejamkan mata yang tak kunjung terpejam.
Kulaksanakan Magrib dan Isya dengan posisi rebahan seperti ini, karena kondisi
dan tempat yang benar-benar gak memungkinkan untuk ibadah dalam posisi
sempurna. Ampuni kami Tuhan.
---
Sabtu/14/05/2016-23:30.
Alarm
yang tadi ku-set berbunyi. Belum semenit pun aku tidur. Hanya rebahan dan
memejamkan mata. Dingin banget rasanya punggung, lantai terpal dan alas tenda
ini gak cukup buat nahan dingin dari tanah gunung Indonesia. Aku yakin Mang Omo
dan wa Ali juga ngalamin hal yang sama, gak tidur sama sekali.
Kami
pun beranjak bangun, bangunin tenda sebelah yang sebagian isinya ternyata bisa
tidur nyenyak. Kami mulai bongkar tenda dan kembali packing. Belom ada satupun tenda di sekitaran kami yang
mempersiapkan pendakian ke puncak se-dini ini seperti kami. Ya, sesuai
hitung-hitungan, kami memang harus mulai di jam-jam segini kalau emang mau
ngejar sunrise esok pagi.
Angin
masih saja bertiup kencang. Lisanan diskusi dengan Mang Omo terkait hal ini. Di
sini aja angin segede ini, apalagi di puncak ntar, katanya. Sudahlah.
Bismillah. Gimana ntar.
---
Minggu/14/05/2016-01:05.
Aku
memimpin doa, perjalanan malam ini akan dimulai. Senter dan headlamp menjadi penerang kami di gulita
malap yang pekat. Kami buta medan. Berserah diri kepada yang Maha Kuasa dengan
ikhtiar yang akan kami upayakan maksimal menjadi modal perjalanan kami malam
ini.
Dengan
carrier di punggung, aku dan
rombongan mulai berjalan menembus hutan. Teringat omongan bapak petugas TNGC
yang mengatakan bahwa dari tenda kami ke Pos-5 bisa ditempuh dalam lima menit
tanpa carrier, itu yang menjadi modal
kami, menjadi penyemangat kami.
Tapi,
ah, rasanya ini udah sangat lama kami jalan, Pos-5 nggak nyampe-nyampe, nggak
ketemu. Padahal kami berjalan di jalur yang memang seharusnya. Medan yang
semakin naik dan trek yang semakin khas gunung membuat kami tertatih. Fisik
udah gak se-seratus persen seperti saat berangkat tadi pagi.
---
Minggu/14/05/2016-01:30.
Nymape
juga kami di Pos-5, Sanghyang Rangkah. Dan memang benar, di kawasan yang cukup
lapang ini penuh dengan puluhan tenda di sana-sini, sangat rapat. Angin
berhembus sangat kencang di sini, daerah terbuka.
Kami
terus saja berjalan melewati teras-teras tenda yang penghuninya belum pada
berangkat muncak seperti kami, atau mereka gak ngejar sunrise seperti kami? Entahlah, kami terus saja melanjutkan
perjalanan, mengayun langkah kaki yang patah-patah, satu dua.
Di
trek ini kami ngelewatin pohon yang baru aja tumbang, angin semalem memang
bener-bener kenceng, bahkan sampai saat ini pun. Di tengah perjalanan, Lisanan
nepuk pundak, mengisyaratkan untuk menoleh ke belakang, dan... Yampunnn,
subhanalloh,, indahnya,, Ribuan kerlip nyala lampu di bawah sana menjadi
pemandangan yang sangat indah dini hari itu dari atas sini. Kami semua terpana,
menjadi saksi dari keindahan yang disajikan semesta untuk kami.
Aku
minta tukeran carrier. Lutut sebelah
kiri berasa nyeri saat dipake buat jalan, lebih-lebih kalau kaki kiri dijadiin
sebagai tumpuan. Sakitnya itu loh. Trek bener-bener makin berat. Medan saat ini
adalah trek bebatuan yang hampir mirip sebuah lorong beratap langit dengan
dinding batu cadas yang meninggi. Selebihnya adalah daerah terbuka dengan
vegetasi yang mulai minim. Sama sekali gak kepikiran buat foto-foto. Bawa diri
aja udah ngos-ngosan, ditambah kondisi kaki yang gak bersahabat. Semakin lama
sepertinya makin sering break. Saling
nyemangatin satu sama lain. Aku sepertinya mulai jadi penghambat di tim ini.
Kami
mulai mendengar suara-suara teriakan dari rombongan lain. Kami indikasikan
teriakan-teriakan itu berasal dari rombongan lain di jalur pendakian via
Palutungan. Kita kini berjalan bersisian, jalur Apuy dan jalur Palutungan. Kami
balas teriakan-teriakan itu dengan teriakan seperlunya. Kami gak ingin merusak
syahdunya alam dengan teriakan-teriakan kami.
---
Minggu/14/05/2016-03:11.
Benar
saja, kami sampai di sebuah persimpangan, sebuah jalan cabang yang
mempertemukan jalur Apuy dengan jalur Palutungan. Wa Ali minta difoto di spot
ini. Kita semua kelelahan. Istirahat di tempat ini walaupun angin berhembus
kenceng banget di sini. Mang Omo mengiyakan perkataanku bahwa trek dari Pos-4
sampai titik ini adalah trek yang berat. Bahkan Mang Omo bilang trek di atas
Pos-4 tak ubahnya seperti trek Linggarjati, bener-bener mirip, katanya. Pantas
aja kami-kami para manula pemula ini ngos-ngosan.
Setelah
dirasa cukup, kami lanjut lagi. Meneruskan langkah yang sempat terhenti karena
istirahat. Dari persimpangan ini, yang ada adalah daerah terbuka, trek full
batu material kawah, ditambah dengan angin yang hembusannya bener-bener
kenceng, membuat kami seperti terhuyung.
Kami
harus pintar-pintar memilih pijakan dan pegangan kalau tidak ingin tergelincir.
Di trek ini juga aku mendapati sebuah plakat marmer dengan tulisan “In
Memoriam, Nurdiyanto bin Rosidi”, seorang pendaki yang meninggal dunia di
pelukan Ciremai. Dari beberapa blog yang aku baca, kisahnya begitu tragis dan
mengharukan. Aku sempatkan untuk berdoa di sini, untuk mereka-mereka yang
melepas nyawa dalam pelukan semesta Ciremai maupun gunung manapun, juga berdoa
untuk keselamatan diri sendiri.
---
Minggu/14/05/2016-03:51.
Pos-6,
Goa Walet, berhasil kami pijak. Hembusan angin makin menjadi-jadi di sini. Pos
Goa Walet ini, kalau dari Apuy adalah Pos ke-6, sedangkan kalau dari jalur
Palutungan, Goa Walet menjadi Pos ke-7. Dan ini adalah pos terakhir sebelum
mencapai puncak.
Masih
terlalu gelap untuk menuju puncak. Terlihat beberapa rombongan bersembunyi di
balik bebatuan, ada juga yang berkelompok di bawah pohon edelweiss, semuanya
bergerombol menghalau tiupan angin yang begitu kencang. Oh iya, dalam
perjalanan kami ini, kami gak nemuin bunga edelweiss satupun, belum musimnya
mungkin.
Begitu
juga dengan rombongan kami, mencari titik perlindungan yang bisa kami jadikan
tempat bernaung sementara. Paling tidak kami gak kena tiupan angin langsung.
Sumpah ini dingin banget. Akhirnya kami pun menemukan spot yang pas yang bisa
kita gunakan sebagai benteng. Hehe. Kami bersembunyi di sela-sela bebatuan,
beratapkan pohon edelweiss dan cantigi. Lumayan, cukup menghindarkan kami dari
terpaan angin yang begitu dingin. Di sini kami nyalain kompor, bikin minuman
hangat yang sama sekali kami gak ngerasa hangat pas minum. Langsung dingin gitu
aja minumannya.
Dari
goa wallet ini, menuju puncak hanya butuh tiga puluh menit, kata bapak petugas
TNGC yang diiyakan oleh Lisanan, gak terlalu jauh rupanya.
---
Minggu/14/05/2016-04:42.
Hampir
satu jam kami di Goa Walet, sekarang saatnya summit attack. Carrier
dan beberapa daypack kami tinggalkan
di semak-semak yang udah kami tandain. Medan menuju puncak cukup berat kalau
harus dilalui dengan membawa carrier.
Biasanya Goa Walet adalah pos terakhir yang juga digunakan sebagai tempat
pendirian tenda. Pendaki biasanya meninggalkan carrier mereka di dalam tenda yang sengaja gak dibongkar saat
ditinggal summit attack. Nah, karena
kami gak nge-camp di Goa Walet, jalan
terakhirnya adalah carrier dan
beberapa daypack kami sembunyiin di
semak-semak. Hanya ada dua daypack
yang kami bawa, isinya adalah snack
dan air mineral secukupnya.
Masih
dengan hembusan angin yang kenceng, kita mulai perjalanan menuju puncak yang udah
tinggal sedikit lagi. Aku begitu semangat, aku berada di barisan terdepan,
memimpin pasukan. Ayo, puncak bentar lagi.
Medannya
adalah material lahar dingin berupa batuan dengan kontur terjal dan gak rata.
Bebas mau lewat mana, karena gak ada jalur pasti menuju puncak dari sini. Mana
aja, yang penting bisa dipijak dan aman, bisa dijadikan arahan untuk menuju
puncak.
Semangat
yang membara akhirnya mengantarkan aku, mengantarkan kami menuju puncak,
terbayar sudah semua lelah.
---
Minggu/14/05/2016-05:02.
Puncak
tertinggi Jawa Barat ada di depan mata. Cukup dengan dua puluh menit
perjalanan, lebih cepat sepuluh menit dari waktu yang dikatakan. Ya Alloh...
Indahnya. Puncak Ciremai, 3078 mdpl, kupenuhi janjiku, aku datang mengunjungimu.
Langsung
kupeluk wa Ali dan Mang Omo bergantian, kuucapkan terima kasih karena telah
membawa dan menemaniku menyaksikan keindahan semesta yang tak ternilai ini.
Seakan masih gak percaya kalau akhirnya aku berhasil sampai di sini. Sebuah
momen yang tak kan terlupa. Membekas.
“Jutaan keindahan terhampar di bumi nusantara. Tak kan habis satu
manusia Indonesia menikmati keindahannya.”
Sholat
shubuh di puncak Ciremai, dengan arah yang entah menghadap ke mana,
kulaksanakan dengan sepenuh hati, sebagai wujud syukur yang tiada terkira,
sudah menakdirkanku sampai sejauh ini, di sini, di puncak Ciremai, puncak
tertinggi Jawa Barat, tanah paling tinggi tatar Parahyangan.
Matahari
masih berada di peraduannya, masih enggan menampakkan wujudnya. Tak
henti-hentinya mulut ini tersenyum dengan keagungan sang Kuasa yang telah
menganugerahkan semesta ini dengan segala keindahannya.
Kami
saksikan gagahnya Gunung Selamet di sisi sebelah kanan, begitu gagah
bermandikan sinar mentari pagi yang mulai beranjak meninggi. Sunrise. Angin masih saja bertiup
kencang di atas sini. Tidak ada satupun yang berani memasang tripod untuk
keperluan fotografi dengan hembusan angin sekencang ini. Lebih banyak yang
hanya duduk-duduk saja menikmati alam, atau berlindung di bawah pohon cantigi
yang banyak tumbuh di puncak.
Kami
sempatkan foto-foto di sini, bergantian. Angin semakin kencang saja. Alam sudah
mulai terang benderang. Jumlah pendaki yang mencapai puncak pun semakin banyak.
Puncak Ciremai dipenuhi oleh ratusan pendaki pagi itu.
---
Minggu/14/05/2016-06:00.
Kami
tidak berlama-lama di puncak. Hembusan angin yang sangat tidak bersahabat
membuat kami harus segera turun. Saeful sudah meminta turun dari tadi. Oke,
kita turun. Aku dan Lisanan ada di barisan paling belakang saat turun ini,
karena aku masih harus menyempatkan untuk foto-foto lagi, tadi aku belum
berhasil ambil gambar kawah Ciremai.
Saat
turun bareng Lisanan ini, kami ketemu lagi dengan rombongan UPI. Mereka juga
sedang turun, bentar banget rupanya mereka di puncak. Tampak si abu-abu yang
tak lagi abu-abu. Setelannya menggunakan training hitam kali ini, ups, tapi
tanpa jilbab sekarang. Basah mungkin kena hujan semalem.
Kami
pun turun bareng, si abu-abu selalu mengikuti langkah kami, mana batu yang kami
jadikan pijakan, dia pun ikut dengan pilihan kami. Kalau kami belom menemukan
pijakan yang pas, dia pun berdiri di belakang kami, menunggu. Pas turun ini,
rombongan mereka sepertinya gak selengkap pas naik kemaren. Ayo girl, ikuti langkah kami. Aku akan
menuntunmu menuruni Ciremai, hehe.
Aku
bareng Lisanan pun terpaksa pisah dengan si abu-abu karena kami udah sampai di
titik di mana kami nyimpen ransel kami. Hati-hati di jalan yah, haha. Kami bertujuh
pun meneruskan perjalanan setelah mengambil barang bawaan masing-masing, ayo
kembali turun, jalan teroos.
---
Minggu/14/05/2016-07:25.
Kami
sampai di percabangan antara jalur Apuy dan Palutungan. Berhenti di sini,
mengisi perut dengan roti dan makanan seadanya. Menyaksikan ratusan pendaki
yang naik turun di titik ini. Nantinya, kami akan memilih jalur ke kiri, ke
arah Palutungan sesuai dengan rencana awal.
Beres
makan, ayo jalan lagi, menyusuri jalan baru yang berbeda dari jalur semalem.
Lebih landai. Di suatu titik break,
aku berganti alas kaki, aku yang awalnya pake sandal, ganti pake sepatu biar
lebih enakan, jalur kebanyakan menurun soalnya, butuh pijakan yang lebih pas,
apalagi dengan kondisi lutut kiri yang masih nyeri.
Bebarengan
dengan wa Ali yang mengeluhkan lutut kanannya yang juga merasakan nyeri, entah
mengapa lutut kananku juga ngerasa sakit. Lengkap sudah lutut kanan kiri ini
nyeri kalau dipake berjalan. Menyelesaikan sisa trek ini dengan begitu
tertatih, jauh ketinggalan di belakang.
Kami
sempet berhenti di sebuah daerah yang lumayan lapang. Kami akan masak di sini.
Mengeluarkan mie instan dan telor, itulah menu makan kami kali ini. Aku dan wa
Ali yang kebagian giliran masak kali ini. Lumayan, porsi makan kali ini sedikit
lebih banyak dibandingkan porsi makan semalem. Cukup lama kami berhenti di
sini, sebelum akhirnya kembali meneruskan perjalanan.
Kini
jarak antar personil makin kelihatan. Apung, Ismail dan Saeful dengan cekatan
menuruni Ciremai, entah udah sampe mana mereka, meninggalkan kami berempat di
belakang. Aku, wa Ali, Mang Omo dan Lisanan. Saling menguatkan satu sama lain.
Terutama aku dan wa Ali yang kondisinya gak bisa cepet diajak jalan.
---
Minggu/14/05/2016-09:53.
Nyampe
juga di Pos-6 jalur Palutungan, Pos-6, Sanghyang Ropoh. Istirahat di sini.
Sekedar meluruskan kaki yang rasanya udah gak karuan. Kutempelkan koyo di kedua
lutut. Begitu juga wa Ali yang membaluri lututnya dengan minyak kapak.
Perjalanan
harus segera dilanjutkan, masih sangat jauh, kami gak boleh kemaleman sampai di
Palutungan nantinya. Di trek turun ini kami udah gak pernah foto-foto lagi,
disamping kondisi batere handphone
yang semakin melemah, juga kondisi fisik yang udah menurun, drastis.
Wa
Ali berjalan berdua ditemani Mang Omo, dibantu dengan tongkat dari batang pohon
yang tadi diambil di jalanan. Sedangkan aku ditemenin Lisanan ada di
belakangnya. Lisanan juga mengeluhkan engkelnya yang mulai nyeri.
---
Minggu/14/05/2016-10:19.
Gak
terlalu lama untuk mencapai Pos berikutnya, Pos-5, Pasanggrahan. Berarti kami
sudah berjalan sekitar 1,6 kilometer.
---
Minggu/14/05/2016-11:32.
Trek
sepanjang 1,3 kilometer dari Pos Pasanggrahan sudah kita lewati. Nyampe juga di
Pos-4, Tanjakan Asoy. Oalah, ini toh Pos Tanjakan Asoy itu. Pantes aja, tadi
beberapa meter sebelum nyampe di pos ini, medannya menurun banget, sedikit
curam. Kalau dalam perjalanan menuju puncak, pasti trek ini begitu menanjak,
sesuai dengan nama posnya.
Di
sini kami ketemu kembali dengan ketiga temen kampus Lisanan. Mereka sudah jauh
lebih dulu istirahat. Cukup lama kami istirahat di sini. Bareng sama bule-bule
yang juga lagi turun saat itu.
---
Minggu/14/05/2016-12:09.
Kami
sampai di Pos-3, Arban. Namanya sama dengan Pos-2 jalur Apuy yang kemaren kita
lewati. Ketinggian pos ini berada di 2.050 mdpl sesuai dengan petunjuk yang ada
di sana. Sudah 3,6 kilometer kita berjalan dari puncak, sudah 6 jam juga
berarti kita jalan dari start awal pas di puncak tadi. Perjalanan turun ini masih
setengahnya berarti.
---
Minggu/14/05/2016-12:50.
Sampai
di sebuah shelter, Blok Amper. Hanya sebuah pos bayangan.
---
Minggu/14/05/2016-13:23.
Kami
berempat sampai juga di Pos-2, Pangguyangan Badak. Ketiga teman Lisanan entah
udah di mana. Salut dengan fisik dan stamina mereka. Ngelihat ke papan penunjuk
nama Pos, dari sini jarak ke puncak adalah 4,5 kilometer, berarti dari pos
sebelumnya, kita udah jalan 900 meter. Lelah.
Belom
sampe-sampe. Trek masih sangat panjang, walaupun relatif landai. Kini setiap
nemuin turunan, aku hanya bisa seluncuran, kaki udah gak bisa jadi tumpuan.
Saat ngelewatin turunan kan otomatis kaki akan menjadi tumpuan beban badan. So,
biar gak jadi tumpuan, ya seluncuran ajah.
Mang
Omo dan Wa Ali berangkat lebih dulu, mereka nerusin perjalanan lagi, sedangkan
aku dan Lisanan masih tidur-tiduran di sini, beralaskan tanah dan dedaunan
hutan. Mengatur nafas dan menyiapkan tenaga untuk kembali meneruskan perjalanan,
menyelesaikan trek yang tersisa. Madu yang aku bawa menjadi penolong kami
berdua untuk recharge energi dan
stamina.
---
Minggu/14/05/2016-14:15.
Kembali
menemukan pos bayangan, Kuta. Mang Omo dan wa Ali gak ada di sini. Udah jauh
ternyata mereka. Kami berdua istirahat lagi di pos bayangan ini. Sempet ketemu
dengan bebeapa pendaki yang turun. Kami persilahkan duluan, termasuk sorang
pendaki cewek asal Jepang dengan seorang guide lokal, juga kami persilahkan
untuk turun duluan. Aku masih ingin istirahat.
Ini
mana Pos-1 kok gak nyampe-nyampe. Jauhnya. Merasa sangat bersyukur dan makasih
banget sama Lisanan yang sejauh ini udah nemenin aku di barisan paling
belakang. Ngebarengin langkahku yang tertatih. Padahal kalau mau dia bisa aja
jalan cepet bareng temen-temennya ninggalin aku menyelesaikan trek ini
sendirian. Tapi dia lebih milih buat di sini, nemenin aku.
“Di gunung, kamu akan melihat semua orang dalam wujud
aslinya. Karakter orang akan tampak jelas, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, dengan segala kebaikan dan keegoisannya. Kuat atau tidaknya dia,
mandiri atau manjanya, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung.
–Azzura Dayana- ”
---
Minggu/14/05/2016-14:50.
Setelah
ngelewatin sebuah aliran sungai yang jernih dan dingin banget, sampailah kami
berdua di Pos-1, Cigowong. Ketiga temen Lisanan udah ada di sini, udah pada
rapi malah, mereka sempet mandi-mandi di sini, berarti udah dari tadi mereka
nyampenya.
Mang
Omo dan wa Ali terlihat lagi di warung, menikmati mie instan di mangkuk masing-masing.
Kuletakkan daypack yang kubawa di
deket carrier tim kami, berjalan
bergabung menghampiri wa Ali dan Mang Omo. Wangi mie instan rebus membuatku
ngiler juga, pengen. Aku dan Lisanan pun ikut pesen. Wa Ali bilang mereka juga
belom lama kok nyampenya. Kebukti mangkok mie instan yang dia pegang juga belom
abis.
Ada
tragedi pas kami bayar ke bapak warung. Ternyata mahal banget loh. Semangkuk
mie instan lengkap dengan telornya di sini dihargain Rp 13.000,- sedangkan
untuk gorengan yang gak ada asin-asinnya sama sekali dihargai Rp 1.500,- per
biji. Subhanalloh.
Wa
Ali yang tadi juga sempet minta air panas buat ngompres lututnya, malah
ngomel-ngomel. Gimana enggak, air panas setengah botol air mineral ukuran kecil
dihargai sepuluh ribu. Hahaha. Kita berempat juga ngedumel, hahaha. Pengalaman.
Di
Cigowong ini, melihat fisik aku dan wa Ali yang udah makin drop, ditambah waktu
yang udah sore, kami putuskan buat nerima tawaran Pak Asep kemaren. Wa Ali
ngirimin SMS ke Pak Asep buat ngejemput kami di Pos Palutungan. Daripada harus
make angkutan umum ke Cirebonnya.
---
Minggu/14/05/2016-15:37.
Kami
melanjutkan perjalanan menuju titik awal pendakian jalur Palutungan. Pos
Palutungan di desa Cisantana, Cigugur, Kuningan. Kata Lisanan, trek ini sangat panjang
dan begitu membosankan.
Benar
saja, treknya kayak gak berujung, ditambah dengan vegetasi yang berubah dari
yang asalnya tanaman hutan, kini beralih menjadi tanaman perkebunan, hari udah
semakin sore.
Melewati
pohon-pohon pinus, menuruni dua lembah yang treknya masya Alloh banget buat
aku. Kembali aku ketinggalan di belakang ditemenin Lisanan. Berkali-kali aku
nanya ke Lisanan, ini masih jauh enggak, berapa lama lagi, trek di depan
gimana? Ahhh,, kapan sampenya?
Kami
sampai di batas hutan, berganti dengan perkebunan warga yang mayoritas nanem
bawang daun. Aromanya khas tukang martabak, hehehe.
Adzan
magrib pun menggema, dan kami masih juga belom nyampe Pos Palutungan. Aku
bersikeras harus segera nyampe Palutungan tanpa harus make headlamp lagi. Artinya, sebelum gelap banget, kami harus udah di
bawah, minimal ketemu dengan pemukiman warga.
Akhirnya
sampe juga kami di peternakan sapi warga. Daerah Cigugur memang terkenal dengan
penghasil susu sapi. Dari sini, pemukiman sudah gak jauh, udah kelihatan
rumah-rumah penduduk. Kaki kayak udah diseret aja jalannya rasanya.
---
Minggu/14/05/2016-18:30.
Sampailah
kami di Pos Palutungan. Segera menuju ke rombongan yang udah dateng duluan.
Kata mereka, mereka udah dateng setengah jam yang lalu di sini, hehe, maaf
temen-temen. Kunaikkan daypack ke bak
belakang mobil yang udah standby di
sana. Ternyata ada wa Ali yang terkapar di bak tersebut, hehe. Wajahnya pucet.
Lututnya sakit banget katanya. Gak bisa digerakin.
Lisanan
ditemenin Mang Omo, berdua menuju Pos Palutungan buat lapor, sekaligus nyetorin
sampah yang kami bawa turun. Tak lupa, Lisanan juga ngasih kabar via SMS ke Pos
Apuy seperti amanah bapak petugas kemarin saat kami memulai pendakian dari
sana.
---
Alhamdulillah,
segala syukur aku haturkan kepada sang Maha Kuasa, telah mengizinkanku sampai
di titik ini. Walopun dengan segala kekurangan yang aku miliki, aku telah
ditakdirkan olehNya bisa menggapai Ciremai, bahkan hingga mencapai puncaknya.
Juga telah mengembalikanku, mengembalikan kami semuanya dengan selamat. Syukur
terdalam juga aku panjatkan, telah menciptakan bentangan zamrud khatulistiwa di
negeri tercinta ini, Indonesia.
Terima
kasih juga buat teman-teman. Terima kasih sahabat, Telah menemaniku, telah
membawaku sejauh ini sampai di tanah tertinggi Jawa Barat ini. Jutaan rasa yang
tak terbayangkan dan tak terbayarkan kini bisa kunikmati, tersimpan dalam
kenangan yang tak kan terlupakan, kalian begitu teristimewa. Sebuah pencapaian
yang luar biasa.
Akhirnya,
terima kasih Indonesia, telah menyuguhkan hamparan keindahan yang sangat luar
biasa. Indonesia, engkau begitu istimewa. pesona dan daya tarikmu begitu
memikat, sangat memanjakan, tak kan tergantikan. Aku bangga padamu, Indonesia.
Bangga bisa menjadi bagian kecil dari bangsa yang begitu besar ini. Tanah air
ini. Indonesiaku, juga Indonesia kita bersama.
Dan
untuk Ciremai, 3078 mdpl, gunung tertinggi tatar Parahyangan, terima kasih.
Darimu aku belajar banyak tentang kebersamaan, tentang persahabatan, tentang
kehidupan. Dua hari dalam pelukanmu merupakan hal yang begitu besar dalam
sejarah hidup seorang Reza. Banyak hal yang bisa aku dapatkan darimu yang gak
bisa aku pelajari di bangku pendidikan formal. Tidak hanya tentang dunia, tapi
juga tentang masalah jiwa. Jika suatu saat aku ditakdirkan untuk kembali
mengunjungimu, aku gak akan nolak, terimalah aku kembali, dengan sejuta pesona
dan keajaibanmu.
“Jangan bertanya mengapa kami mendaki gunung, karena kami
akan memberikan jawaban yang selalu berbeda dan sulit untuk dimengerti. Datanglah
ke gunung dan temukan sendiri jawabannya di atas sana, karena setiap gunung
yang didaki akan selalu mengajarkan hal baru yang begitu besar.”